Luar biasa. Partai politik di negeri ini tampaknya telah melampaui ahli-ahli hukum dalam menciptakan teori hukum baru. Sebab, tiba-tiba lahirlah istilah “nonaktif” yang tak dikenal dalam Undang-Undang MD3, namun dengan penuh percaya diri diumumkan ke publik, seolah-olah itu sebuah norma hukum baru.
Ironinya, konstitusi dan UU MD3 jelas hanya mengenal mekanisme pergantian antarwaktu (PAW), bukan “cuti” atau “penonaktifan”. Dengan kata lain, keputusan tiga partai (NasDem, PAN, Golkar) menonaktifkan kadernya di DPR tidak lebih dari gimmick politik untuk meredam amarah rakyat. Ini semacam politik kosmetik yakni wajah DPR dipoles dengan bedak tebal, padahal bopengnya tetap terlihat.
Mari kita uji dengan teori politik. Robert Michels lewat “Iron Law of Oligarchy” mengingatkan bahwa partai politik cenderung lebih mementingkan kelangsungan organisasinya ketimbang aspirasi rakyat. Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa kepentingan partai ditempatkan di atas mekanisme hukum. Kader bermasalah tidak langsung di-PAW sesuai undang-undang, tetapi hanya “dinonaktifkan”, status setengah hidup setengah mati. Schrödinger’s legislator, begitu istilah: anggota DPR yang ada sekaligus tiada.
Penonaktifan ini menciptakan absurditas. Dalam kacamata Hans Kelsen, norma hukum hanya sah jika bertingkat dan bersumber pada norma dasar (grundnorm). Nah, “nonaktif” ala partai ini jelas tidak bersumber dari mana pun selain dari “grundnorm selera politik partai”. Satu-satunya penjelasan yang logis adalah partai politik telah menemukan “teori hukum rasa-rasa” yang tak diajarkan di fakultas hukum mana pun.
Lebih parah lagi, istilah “nonaktif” berfungsi seperti painkiller yakni meredakan sementara rasa sakit akibat kritik publik, tanpa menyembuhkan penyakit utamanya. Publik tetap melihat, tetap kecewa, tetap marah. Partai seolah berkata: “Tenang rakyat, kami sudah menonaktifkan kok. Jadi jangan cerewet lagi.” Ini bukan solusi; ini sekadar strategi survival politik.
Maka, pertanyaan penting muncul, sampai kapan nasib rakyat ditentukan oleh kamus politik internal partai? Di titik inilah urgensi demokrasi langsung harus dibicarakan. Dalam teori kedaulatan rakyat ala Rousseau, wakil rakyat hanya “penerima mandat”. Jika mereka mengkhianati mandat itu, logis jika rakyat punya hak untuk mencabutnya. Mekanisme recall langsung dari konstituen, bukan hanya dari partai, menjadi penting agar publik tidak hanya bisa berteriak di jalan, tetapi bisa benar-benar menghentikan wakil yang dianggap mempermalukan demokrasi.
Bayangkan, jika recall berlaku, publik yang muak pada tingkah joget di parlemen atau ucapan menghina rakyat tak perlu menunggu belas kasih partai. Cukup dengan mekanisme konstitusional, rakyat bisa berkata: “Silakan keluar, kami sudah tidak percaya lagi.” Itu demokrasi sesungguhnya, bukan demokrasi kosmetik ala “nonaktif”.
Pada akhirnya, tindakan partai menonaktifkan kadernya hanyalah drama politik murahan. Ia mungkin bisa menipu segelintir orang, tetapi tidak akan menyembuhkan krisis legitimasi parlemen. Demokrasi bukan soal damage control, tetapi soal accountability. Dan accountability tidak bisa lahir dari partai yang sibuk menjaga citra, tapi dari rakyat yang punya hak untuk mencabut mandat secara langsung.
Sampai hari itu tiba, kita mungkin akan terus disuguhi istilah baru dalam kamus politik Indonesia: setelah “nonaktif”, mungkin nanti ada “pensiun sementara”, “cuti konstitusional”, atau “hibernasi politik”. Siapa tahu? Dengan kreativitas partai, hukum bisa kalah dengan dagelan politik.
Oleh:
Hufron&Sultoni Fikri
Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Editor : M Fakhrurrozi