Dalam kerja kehumasan pemerintah, reputasi sering menjadi kata kunci. Kita bicara soal branding, citra, eksposur media, dan kepercayaan publik. Semua itu penting. Tapi dalam praktiknya, terlalu banyak fokus pada reputasi sering menjauhkan kita dari makna. Yang dikejar hanyalah tampilan luar. Yang dikorbankan: kedalaman pesan, ketulusan komunikasi, dan kejujuran informasi.
Di titik inilah, kita perlu kembali ke akar. Falsafah Jawa “Ojo Lali, Ojo Dumeh, Ojo Ngoyo” mengajak kita menata ulang cara berpikir dan bertindak dalam membangun komunikasi publik. Tiga ungkapan sederhana ini sesungguhnya adalah pedoman moral yang sangat relevan di era sekarang, terutama bagi para humas pemerintah yang mengelola wajah dan suara negara di mata rakyat.
Ojo Lali: Jangan Lupa Siapa Kita dan Siapa yang Kita Layani
Ojo lali berarti “jangan lupa.” Sebuah pengingat agar kita tetap eling: ingat siapa diri kita, dari mana kita berasal, dan untuk siapa kita bekerja.
Sebagai humas pemerintah daerah, kita tidak sekadar membuat konten untuk dipublikasikan. Kita menyampaikan pesan-pesan pembangunan, pelayanan publik, serta arah kebijakan pemimpin daerah kepada masyarakat. Kita menyampaikan informasi, tapi juga membentuk persepsi dan kepercayaan. Maka, kita tidak boleh lupa bahwa tugas ini harus dijalankan dengan niat melayani, bukan memoles semata.
Di tengah kecenderungan memburu viralitas, falsafah “ojo lali” mengajak kita kembali pada nilai dasar: jangan lupa pada rakyat. Jangan lupa bahwa kita bukan sedang “jualan citra”, tapi sedang membangun hubungan yang berkelanjutan antara pemerintah dan warganya. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang jujur, transparan, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
“Ojo lali” juga mengandung makna kultural. Jangan lupa pada nilai-nilai lokal, pada bahasa rakyat, pada kearifan tradisi. Ketika narasi komunikasi pemerintah disampaikan dengan pendekatan budaya yang membumi, publik akan merasa lebih dekat dan dihargai. Mereka tidak merasa diatur, tetapi diajak bicara.
Ojo Dumeh: Reputasi Tak Berarti Bila Tanpa Kerendahan Hati
Falsafah kedua, ojo dumeh, secara harfiah berarti “jangan sombong.” Ini adalah peringatan agar tidak merasa lebih hanya karena punya jabatan, kekuasaan, akses informasi, atau panggung media. Dalam kerja kehumasan pemerintah, godaan untuk merasa “paling tahu” atau “paling benar” sangat besar. Kita punya data, punya kanal resmi, punya privilege untuk bicara lebih dahulu dibanding publik.
Tetapi, jika komunikasi dibangun dari rasa superioritas, maka publik hanya akan merasa didikte, bukan diajak dialog. Itulah mengapa, humas pemerintah harus selalu menjaga kerendahan hati, baik dalam menyusun pesan, menyikapi kritik, maupun menghadapi krisis.
Dalam perspektif sosiologi, relasi antara pemerintah dan masyarakat adalah relasi kekuasaan. Komunikasi publik dapat menjadi alat dominasi jika tidak diimbangi dengan empati. Maka, “ojo dumeh” penting sebagai kontrol moral agar kita tidak menggunakan informasi untuk menutupi, tetapi untuk menjelaskan. Bukan untuk menindas, tetapi untuk melayani.
Sebagai contoh, saat terjadi kekeliruan pelayanan, humas tidak seharusnya membela diri secara membabi buta. Justru di momen seperti itulah kepercayaan diuji. Kerendahan hati untuk mengakui dan memperbaiki adalah bentuk komunikasi yang membangun reputasi jangka panjang.
Ojo Ngoyo: Tidak Semua Harus Instan, Tidak Semua Harus Viral
Petuah ketiga, ojo ngoyo, mengajarkan tentang tidak memaksakan diri. Ini tentang kesadaran bahwa segala sesuatu butuh proses. Dalam dunia komunikasi publik yang makin kompetitif, sering kali humas tergoda untuk terus tampil, terus produksi konten, terus mengejar jumlah tayangan.
Padahal, tidak semua harus dikejar dengan terburu-buru. Komunikasi publik tidak hanya butuh kecepatan, tapi juga ketepatan. Tidak hanya butuh desain yang menarik, tapi juga isi yang mendalam. “Ojo ngoyo” mengajak kita menyeimbangkan semangat kerja dengan kebijaksanaan batin. Alih-alih memaksakan pencitraan, lebih baik menumbuhkan kepercayaan.
Dalam manajemen krisis, prinsip ini sangat penting. Saat ada bencana, kesalahan teknis, atau kebijakan yang menimbulkan polemik, humas yang panik bisa keliru mengambil sikap. Kita mungkin tergoda membuat klarifikasi secepat mungkin, padahal belum memahami situasi secara utuh. Akibatnya, bukan kepercayaan yang tumbuh, tapi justru kebingungan.
Komunikasi yang tidak ngoyo adalah komunikasi yang jernih, sabar, dan memahami konteks. Ia tidak reaktif, tapi reflektif. Tidak mengedepankan citra, tapi mendorong pemahaman.
Tiga Falsafah Nilai Kepemimpinan
Tiga nilai ini bukan hanya prinsip hidup masyarakat Jawa, tapi juga pernah hidup dalam kepemimpinan nasional kita. Salah satu kisah yang menarik adalah ketika Presiden Soeharto memberi wejangan kepada menantunya, Prabowo Subianto, sebelum bertugas sebagai Komandan Batalyon. Pesannya: ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo.
Nilai-nilai ini juga tercermin dalam tokoh lain seperti Gus Dur. Ia tidak dumeh meski menjabat Presiden. Ia tidak ngoyo mempertahankan kekuasaan, dan justru meninggalkan jabatan dengan kepala tegak. BJ Habibie juga tidak lali kepada tanah air, meski berkiprah di luar negeri.
Semua kisah ini menunjukkan bahwa falsafah Jawa bukan sekadar petuah etis, tapi telah terbukti relevan dan kontekstual dalam laku kepemimpinan, termasuk kepemimpinan komunikasi.
Reputasi Menyentuh Hati
Reputasi yang kuat tidak dibangun dengan paksaan. Ia lahir dari komunikasi yang otentik. Dari konsistensi antara yang dikatakan dan dilakukan. Dari narasi yang tidak hanya bicara pencapaian, tapi juga keberpihakan. Dari sikap yang tidak hanya mau tampil, tapi juga mau mendengar.
Dalam dunia kerja humas pemerintah, reputasi sering kali menjadi tujuan. Tapi mari kita bertanya: Reputasi untuk siapa? Untuk kekuasaan, atau untuk pelayanan? Untuk tampil, atau untuk memberi dampak?
Jika kita ingin menjawab dengan jujur, maka kita akan sadar bahwa reputasi yang bernilai hanyalah yang dibangun dari hati. Dan hati hanya bisa bicara jujur kalau ia dilandasi oleh nilai. Nilai itulah yang ditawarkan oleh ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo sebagai warisan budaya yang sangat relevan di tengah dinamika komunikasi modern.
Sudah saatnya kita menjadikan falsafah ini bukan hanya slogan kultural, tapi juga etika profesional. Karena reputasi yang hebat akan rapuh tanpa fondasi moral. Dan komunikasi yang sejati bukan sekadar tentang tampil semata, tapi tentang menyentuh dari hati ke hati.
*) Dosen dan Public Relations Practitioner, tinggal di @zainjatim
Editor : Iwan Iwe