Vladimir Ilyich Ulyanov atau lebih dikenal dengan Lenin mengungkapkan bahwa kebohongan yang diucapkan berkali-kali dan diimani, akan menjadi 'firman'. Statement Lenin itu merujuk pada strategi propaganda paham/ideologi Leninisme.
Meski akhirnya paham/ideologi ini bangkrut di negeri mereka sendiri pada1989 yang menandai berakhirnya era Uni Soviet. Disusul kemudian Jerman bersatu pada tahun yang sama ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin. Kemudian paham Leninisme berangsur surut dan tidak lagi populer. Bahkan setelah Uni Soviet pecah, Rusia (negara bagian terbesar) membentuk negara tersebut menjadi Republik, bukan lagi komunis.
Apakah strategi yang 'diajarkan' Lenin tentang propaganda hilang begitu saja? Tentu tidak. Ia bermetamorforse menjadi entitas baru. Sebuah strategi yang lebih 'cantik' dan moderat. Propaganda ini digunakan untuk strategi advertising para marketer. Agar tidak terlalu brutal, mereka membungkusnya dengan bahasa yang halus, bukan mengarah ke HOAX. Salah satu contoh adalah bahasa yang digunakan oleh salah satu perusahaan minyak goreng dalam beriklan. Diksi yang digunakan adalah: "Minyak goreng ini telah mengalami 2 kali penyaringan"
Kalimat itu membius benak kita bahwa seolah minyak tersebut jauh lebih sehat dari minyak lainnya. Padahal standar penyulingan minyak goreng memang 2 kali penyaringan. Merek mahal lainnya bahkan ada yang lebih dari 4 kali penyaringan. Itu kenapa minyak berbasis olive dijual Rp150rb per 0,5 liter.
Baca Juga : Peran Illusory Truth Effect dalam Pembentukan Propaganda Politik
Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi. Ada iklan yang meminum minyak goreng. Iklan itu bukan berarti atraksi debus, namun hanya ingin menunjukkan betapa bersihnya minyak goreng tersebut sehingga layak minum. Padahal di dunia nyata, tidak ada yang akan minum minyak goreng langsung dari botol layaknya minum sirup. Itulah perang propaganda merek. Begitu brutal dan juga barbar.
Apakah iklan seperti itu salah? Tidak juga, karena mereka tidak bohong. Bahkan cenderung jujur ala dumb of dumbler sh*t (brooklyn prokem yang artinya bodoh sekali).
Kawan, jujur ala the fool of dumb kadang bisa membawa kemujuran. Tergantung bagaimana kita mengaturnya. Jaman telah berubah, kita tidak bisa lagi menggunakan diksi yang terlalu jujur, tetapi juga tidak bohong-bohong betul. Cukup lakukan dengan persistant and consistant.
Hal ini yang dilakukan oleh pabrikan mobil Suzuki. Suzuki dengan varian Jimny (baik yang 3 atau 5 pintu) berusaha mentasbihkan diri sebagai Wrangler killer. Namun apakah raksasa Jeep dengan legenda Wrangler-nya tumbang? Tentu tidak. Mereka mempunyai pasar yang berbeda dan pada stratifikasi yang juga berbeda. Namun dengan diksi yang digunakan, membius pelanggan bahwa This is the Asian Jeep.
Padahal Jeep tidak pernah menjadi Asia, ia tetaplah kendaraan SUV dengan gaya khas Amerika (desain) yang kaku dan jangan pernah tanya seberapa nyaman. Ia tidak nyaman dikendarai. Namun branding dengan model propaganda terus menerus oleh Suzuki, maka orang akan memberi "label" Jimny is the Asian Jeep.
Itulah saktinya propaganda dalam dunia advertising. Suzuki tidak pernah mengaku dirinya bagian dari Jeep (entitas merek). Namun personality dan performance yang dibangun berada dalam dimensi dan dunia Jeep (SUV). Benak kita yang liar saja pada akhirnya yang memberi label Jimny adalah Jeep (SUV). So, Jeep tidak perlu branding dengan propaganda masif, karena dunia SUV telah diciptakaanya dengan label Jeep (SUV). (*)