SURABAYA - Ledakan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap wartawan televisi di Indonesia belakangan ini bukan sekadar problem ketenagakerjaan.
Ia adalah gejala permukaan dari penyakit yang lebih dalam: matinya perlahan ruang-ruang produksi jurnalisme berkualitas, tergantikan oleh konten murah, instan, dan algoritmik.
Kita tidak sedang menyaksikan sekadar transisi media, tetapi pembubaran diam-diam atas ruang publik yang rasional dan bertanggung jawab.
Dalam lanskap media digital yang makin liberal dan tak terkendali, lembaga penyiaran televisi—yang dahulu menjadi tulang punggung informasi publik—dipaksa bersaing dengan platform-platform media sosial yang tak memiliki tanggung jawab redaksional.
Di sisi lain, pendapatan iklan televisi tergerus tajam, sebagian besar bermigrasi ke kanal digital yang dikendalikan oleh raksasa teknologi global. Dalam tekanan ini, efisiensi menjadi tameng, dan PHK menjadi jalan pintas yang paling brutal.
Namun, yang diberhentikan bukan hanya orang, melainkan ingatan kolektif, etika jurnalistik, dan nilai-nilai profesi yang selama ini diperjuangkan. Wartawan-wartawan senior yang selama ini menjaga prinsip keberimbangan, verifikasi, dan integritas tiba-tiba tergantikan oleh konten kreator dadakan, clickbaiters, dan suara yang dibentuk oleh kecenderungan algoritmik.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kebebasan pers hari ini tak cukup hanya dibela dari sisi politik atau hukum. Kita juga harus melihatnya dari sisi ekonomi media.
Ketika ruang redaksi dikosongkan oleh krisis finansial, maka suara publik ikut melemah. Demokrasi pun kehilangan salah satu penyangga utamanya: pers yang mampu bekerja secara independen dan profesional.
Inilah sebabnya, memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia tidak cukup hanya dengan seremoni atau slogan. Ia harus diikuti dengan pembelaan nyata terhadap jurnalis sebagai pekerja, terhadap redaksi sebagai institusi pengetahuan, dan terhadap pers sebagai pilar demokrasi. (*)
Editor : M Fakhrurrozi