Menu
Pencarian

Santri dan Moderasi Beragama: Merajut Harmoni di Tengah Kemajemukan

Portaljtv.com - Rabu, 22 Oktober 2025 12:30
Santri dan Moderasi Beragama: Merajut Harmoni di Tengah Kemajemukan
Dr. H. Ahmad Hudri, ST., MAP. (Foto: Dok)

PROBOLINGGO - Hari Santri diperingati secara resmi sebagai Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, artinya baru 10 (sepuluh) tahun lalu.

Namun adanya peresmian peringatan Hari Santri Nasional pada tahun 2015 tersebut bukanlah sebagai penanda awal kiprah santri dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Namun hal itu lebih sebagai faktor pengingat bahwa santri memiliki peran besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia di era kolonialisme yang sangat panjang.

Menurut Saputra (2019) bahwa dalam sejarah, santri tidak hanya berperan sebagai pemuka agama, tetapi juga sebagai elemen penting yang turut serta dalam membentuk narasi kebangsaan. Santri berperan besar meletakkan pondasi kebangsaan yang sangat kuat bagi berdirinya pilar-pilar kebangsaan. Yaitu nilai-nilai spiritualitas yang menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan dan penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Disini pula peran santri yang berakar dari pesantren seperti KH. Hasyim dan putra beliau KH. Wahid Hasyim turut berperan penting "mempertemukan" Agama dan Negara dalam bingkai kebangsaan yang bernama Indonesia.

Baca Juga :   Kick Off HSN, Banyuwangi Canangkan Pesantren Aman

Oleh karena itu ketika bangsa ini berbicara tentang moderasi beragama, maka tidak adil jika mengabaikan peran santri dari diskursus tersebut. Sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan hingga kini, santri selalu hadir sebagai entitas yang menempatkan agama bukan sekadar simbol keimanan, tetapi juga sebagai inspirasi kebangsaan.

Momentum Hari Santri yang diperingati setiap 22 Oktober menjadi pengingat penting sekaligus penggugah bahwa semangat cinta tanah air, toleransi, dan keseimbangan berpikir telah lama hidup dalam denyut nadi pesantren.

*Moderasi Beragama dan Nilai-nilai Kebangsaan*

Baca Juga :   Cegah Insiden Seperti Al Khoziny, Pemkab Ponorogo Rancang Asesmen Keselamatan Pesantren

Indonesia sebagai negara yang sangat majemuk dari agama, suku, bahasa, hingga budaya. Dalam perspektif ini moderasi beragama menjadi kebutuhan mendesak sekaligus solusi, bukan hanya sebatas slogan.

Kementerian Agama RI mendefinisikan moderasi beragama sebagai cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang selalu mengambil jalan tengah, menghindari ekstremisme, serta menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan.

Namun, di tengah derasnya arus globalisasi dan disrupsi informasi dengan ditandai oleh digitalisasi informasi yang melahirkan postruth, kita juga menghadapi tantangan baru: penyebaran paham radikal, polarisasi sosial, dan ujaran kebencian berbasis agama di ruang publik dan digital.

Baca Juga :   Santri di Pasuruan Diculik Saat Berbelanja, Polisi Buru Pelaku

Di sinilah kontribusi santri menjadi sangat relevan. Santri tidak hanya dibekali pengetahuan agama yang mendalam, tetapi juga diajarkan untuk menimbang segala sesuatu dengan akal sehat dan hati yang seimbang nan jernih.

*Nilai-nilai Pesantren sebagai Fondasi Moderasi*

Dalam tradisi pesantren, nilai-nilai seperti tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil) bukan sekedar teori, melainkan bagian dari perilaku keseharian. Santri dibentuk untuk berpikir jernih, tidak tergesa-gesa menilai, dan senantiasa mencari titik temu di tengah perbedaan. Menjadi jembatan penghubung diantara jurang pemisah perbedaan.

Baca Juga :   Tim SAR Berhasil Temukan Tiga Santri yang Hilang di Pantai Balekambang

Nilai-nilai ini bersumber dari ajaran Islam rahmatan lil alamin — Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Seorang santri belajar untuk menghargai guru, teman, bahkan mereka yang berbeda pandangan.

Pembelajaran dari Kitab Adabul Alim Wal Mutaalim karya KH. Hasyim Asyari mengaktualisasikan bahwa akhlak dalam pendidikan adalah fondasi yang kuat dan ditransformasikan untuk mewujudkan masyarakat yang beradab dan harmonis, sesuatu yang sangat diperlukan dalam masyarakat modern yang serba cepat dan sering kali kurang memperhatikan nilai-nilai humanis. Sikap inilah yang menjadi basis etika dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan modal nilai-nilai tersebut, santri sejatinya adalah “moderator” alami dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan. Mereka menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, antara teks dan konteks, antara agama dan kemanusiaan.

Baca Juga :   Santri Berbagi Sembako di Lereng Gunung Wilis

*Santri sebagai Motor Penggerak Harmoni dan Persaudaraan*

Dalam kehidupan sosial, santri seringkali menjadi pionir dalam membangun ruang-ruang dialog lintas iman dan lintas budaya. Keberadaan pesantren dengan para santrinya turut aktif bermitra dengan pemerintah dan entitas masyarakat lainnya dalam menyelenggarakan kegiatan sosial dan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren bukan entitas eksklusif, melainkan terbuka terhadap kebinekaan.

Selain itu, santri juga hadir di ruang digital dengan wawasan keilmuan yang mengkolaborasi wawasan keilmuan kontemporer dan agama dengan pendekatan inklusifitas. Banyak komunitas santri muda yang aktif membuat konten edukatif tentang Islam yang sejuk, dialogis, dan penuh kasih.

Gerakan Santri dalam jagat digital merupakan bentuk nyata dari adaptasi santri terhadap tantangan era digital tanpa kehilangan jati diri keislaman dan keindonesiaannya.

*Menjaga Tradisi dan Beradaptasi dengan Kemajuan*

Santri dikenal sebagai penjaga tradisi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang moderat. Namun, di saat yang sama, mereka juga adaptif terhadap perubahan zaman.

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berpesan bahwa santri harus mampu menjembatani masa lalu, masa kini, dan masa depan. Artinya, nilai-nilai klasik yang diwariskan ulama harus terus dihidupkan, tetapi juga perlu dikontekstualisasikan dengan tantangan baru.

Sebagaimana kaidah yang populer di kalangan pesantren yaitu mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik dan menerima nilai-nilai baru yang lebih baik. Kaidah ini terkenal dalam bahasa Arab yaitu Al mukhafadhutu ala Qodimissholeh Wal Akhdu bil Jadidi wal Aslah. 

Dalam perspektif kebangsaan, hal ini bermakna bahwa santri tidak hanya berkutat di ranah keagamaan, melainkan juga berperan aktif dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Banyak alumni pesantren kini menjadi akademisi, pejabat publik, wirausahawan, pegiat sosial hingga politisi yang tetap membawa semangat moderasi beragama.

Sinergi dengan Program Nasional Moderasi Beragama

Program Penguatan Moderasi Beragama yang digagas Kementerian Agama sejak 2019 sejatinya mendapat dukungan moral dan konseptual dari pesantren. Nilai-nilai yang diajarkan di pesantren seirama dengan empat indikator moderasi beragama versi Kemenag, yakni: komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap budaya lokal.

Oleh sebab itu, santri bukan hanya obyek program, namun juga menjadi mitra strategis dan konstruktif dalam implementasinya. Oleh karena Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menaungi para santri dapat menjadi penggerak moderasi beragama, tempat di mana nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan dirawat melalui pembelajaran agama yang inklusif dan rasional.

*Refleksi: Santri dan Masa Depan Kebangsaan*

Di tengah berbagai tantangan kehidupan sebagaimana tersebut di atas, santri memikul tanggung jawab moral yang sangat berat. Mereka tidak cukup hanya memahami keilmuan agama secara tekstual, namun juga harus mampu menafsirkan secara kontekstual kedalam realitas sosial dengan bijak.

Santri masa kini harus berani tampil sebagai katalisator di tengah konflik, sebagai penyejuk di tengah panasnya perdebatan terutama di media sosial, dan sebagai penjaga harmoni dalam keberagaman.

Sebagaimana halnya pesantren mengajarkan tentang memuliakan kemanusiaan dengan Akhlaqul karimah, memegang komitmen kebangsaan, dan mengamalkan agama dengan cinta, bukan kebencian.

Maka dari itu, moderasi beragama bukan sekadar proyek pemerintah, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa. Dan santri, dengan segala kearifan dan keikhlasannya, akan terus menjadi garda terdepan dalam menjaga kerukunan dan harmoni bagi Indonesia agar tetap damai, toleran, berkeadaban dan berkemajuan. (*)

Penulis:

Dr. H. Ahmad Hudri, ST., MAP.

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Probolinggo

Editor : M Fakhrurrozi






Berita Lain



Berlangganan Newsletter

Berlangganan untuk mendapatkan berita-berita menarik dari PortalJTV.Com.

    Cek di folder inbox atau folder spam. Berhenti berlangganan kapan saja.