Di era serba cepat ini, ketika notifikasi terus berdatangan dan ekspektasi datang dari segala arah, generasi yang lahir antara 1997 hingga 2012 atau Gen Z dihadapkan pada tantangan mental yang tak ringan. Salah satu yang paling sering dialami, tapi jarang dibahas secara mendalam, adalah overthinking.
Bukan sekadar “kebanyakan mikir”, overthinking adalah ketika pikiran terus memutar satu masalah, menganalisis semua kemungkinan terburuk, tanpa pernah sampai pada solusi. Rasanya seperti terjebak dalam labirin pikiran sendiri: capek, bingung, tapi susah berhenti.
Overthinking bisa muncul dari banyak hal. Media sosial yang terus-menerus membandingkan hidup kita dengan orang lain. Tekanan untuk sukses di usia muda. Arus informasi yang tak pernah berhenti. Dan, seringkali, tak adanya ruang aman untuk sekadar bilang, “Aku capek.”
Kalau kamu sering sulit tidur karena pikiran tak mau diam, merasa cemas tanpa tahu kenapa, atau bahkan butuh waktu lama untuk ambil keputusan sepele—bisa jadi kamu sedang overthinking. Bahkan, kelelahan mental yang kamu rasakan bisa jadi bukan karena sibuk bekerja, tapi karena terlalu sibuk berpikir.
Baca Juga : Bagaimana cara agar saya bisa percaya diri dan menumbuhkan rasa cinta pada diri sendiri?
Lalu, bagaimana cara mengelolanya?
Kenali pemicunya. Apa yang membuat pikiranmu berputar-putar? Situasi? Perasaan? Orang tertentu?
Ganti arah pikirannya. Saat pikiran negatif datang, hadapi dengan logika dan realitas, bukan asumsi.
Alihkan perhatian. Berkegiatan fisik, ngobrol, nonton film, atau melakukan hobi bisa jadi pelarian yang sehat.
Latih relaksasi. Coba meditasi, teknik pernapasan, atau yoga. Pikiran juga butuh rehat seperti tubuh.
Hidup di saat ini. Jangan terlalu sibuk mengulang masa lalu atau menerka masa depan. Fokus pada apa yang bisa kamu kendalikan hari ini.
Tak perlu merasa gagal jika kamu belum tahu akan jadi apa, atau ke mana arah hidupmu. Gen Z sering merasa harus selalu tahu jawabannya, padahal menemukan arah itu proses. Pelan-pelan saja, yang penting tetap melangkah.
Overthinking bukan kelemahan. Ia adalah alarm bahwa pikiranmu lelah dan butuh perhatian. Dan kamu punya kuasa untuk mengendalikannya. Di tengah dunia yang terus berlari, mungkin yang kamu butuhkan bukan berlari lebih kencang, tapi berhenti sebentar, menarik napas, dan sadar: kamu cukup. Kamu aman. Dan kamu bisa melewati ini. (*)
Editor : M Fakhrurrozi