Jika Anda sedang mencari buku bacaan dengan isi yang ringan dan cenderung jenaka, buku Sapiens di Ujung Tanduk karya Iqbal Aji Daryono bisa menjadi salah satu pilihan.
Sapiens di Ujung Tanduk merupakan buku kumpulan cerita singkat dari penulis tentang kesehariannya berhadapan dengan sosial media, kemajuan teknologi, dan perubahan kultur akibat pandemik Covid-19.
Kemampuan Iqbal dalam menceritakan berbagai detail dalam cerita juga patut diacungi jempol. Beliau mampu membawa kita hanyut dalam kisah yang dibawakan dalam setiap babnya.
Membaca buku Sapiens di Ujung Tanduk ini layaknya seperti menonton series Netflix dengan 10 episode atau menonton anime satu season dengan 12 episode.
Baca Juga : Perlu Buku Bacaan Ringan? Warrior of The Light A Manual Karya Paulo Coelho Bisa Jadi Pilihan
Buku ini sepeti membuat penasaran bagaimana dan apa yang dibahas pada bab berikutnya. Sensasi “ketagihan” ini baru dirasakan ketika membaca buku karya Iqbal Aji Daryono.
Pada bab 1 buku ini menjelaskan bagaimana sosial media–khususnya Facebook, menjadi “angkringan online” untuk manusia modern saat ini.
Dalam buku ini, Facebook tak ada ubahnya seperti sebuah tempat angkringan di mana semua orang berkumpul, berpendapat, bercanda, dan bercengkrama.
Baca Juga : Menggali Rahasia Para Filsuf dalam Memperoleh Ketenangan Batin melalui Buku The Art of Stoicism
Hanya saja, yang membedakan hanyalah tempat atau medianya. Angkringan biasa tidak memerlukan internet, hanya perlu datang ke tempat angkringan dan membeli sesuatu di sana.
Sementara, Facebook berada sangat dekat dengan kita. Aplikasi tersebut dapat di-install di smartphone dan dapat dibuka di laptop atau PC menggunakan koneksi internet.
Bagian selanjutnya membahas lebih jauh tentang bagaimana kultur dari “angkringan online” ini terjadi. Mulai dibahas juga beberapa praktik dari teori ilmu komunikasi.
Baca Juga : Mengenal Siasat Cerdas untuk Memengaruhi Orang Lain: Bedah Buku Karya Mochtar Prakoso & Harfi Muthia Rahmi
Bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi, adanya buku ini dapat membantu karena dikemas dengan berbagai implikasi dari teori Ilmu Komunikasi dengan bahasa yang sangat mudah dipahami, relateable, dan tentunya mengandung unsur jenaka.
Memasuki bagian pertengahan buku, penulis membahas bagaimana kemudahan teknologi “menumpulkan” kompetensi kita sebagai manusia.
Beliau bercerita dengan hadirnya Google Maps, hilanglah sudah kebiasaan bertanya ancer-ancer atau yang biasa disebut dengan acuan arah jalan kepada masyarakat sekitar.
Baca Juga : Jangan Malas Baca Buku! Ini 3 Tips yang Bisa Diterapkan untuk Meningkatkan Minat Baca
Kebiasaan ini membuat kita tidak lagi mengingat dengan akurat lokasi, posisi, dan nama jalan, berujung pada tumpulnya kemampuan “manusia” yang ada dalam diri.
Insting survival kita melemah dengan hadirnya teknologi karena memang teknologi memudahkan kehidupan kita sehari-hari.
Ada pula fenomena belanja online yang hingga sekarang masih terus relate dengan kehidupan sehari-hari. Menurut penulis, kata-kata “Permisi Pakeeett!!” adalah sebuah kata-kata yang mampu mendisrupsi ruang privasi kita.
Baca Juga : Mengenal Bagaimana Sistem Pemerintahan Otoritarian Lewat Buku Karya George Orwell: 1984
Ketika kita sedang asyik tidur atau sekadar bengong sendirian di kamar, suara tersebut mampu dengan mudahnya memecah kesunyian dan mengganggu ruang privat kita.
Bahkan ketika mandi pun ketika mendengar suara tukang paket, kita akan terburu-buru untuk menyambut kedatangan paket tersebut walaupun dalam keadaan yang “tidak ideal” untuk tampil di depan seseorang.
Penulis juga sempat menceritakan pengalamannya ketika berkumpul dengan bapak-bapak lainnya di pos ronda. Salah satu teman dari penulis yang bernama Pak Dayat menceritakan bahwa temannya meninggal dunia akibat “terforsir aplikasi”.
Maksud dari “terforsir” disini adalah sebuah keadaan di mana kita memaksa tubuh untuk melakukan kegiatan yang di luar batas kemampuan.
Teman Pak Dayat ini sedang kecanduan sebuah aplikasi yang bisa digunakan untuk mengukur jarak bersepedanya. Semakin jauh jarakya maka hasil penghitungan jarak dari aplikasi tersebut bisa dipamerkan di sosial media.
Bisa dibilang, teman dari Pak Dayat ini mati karena kelelahan, memaksa fisiknya yang tidak kuat untuk terus bersepeda. Yang membuat peristiwa ini menarik adalah bagaimana pergeseran makna olahraga di zaman modern ini.
Dahulu olahraga hanya digunakan untuk perkara kesehatan jasmani dan rohani. Sekarang olahraga tidak hanya untuk menyehatkan tubuh, tetapi juga untuk “menyehatkan” Instastory dan meramaikan akun Instagram.
Keperluan untuk kesehatan kini berganti menjadi keperluan untuk “kehumasan”. Mengumumkan segala halnya lewat akun sosial media sebagai ajang pamer belaka.
Menuju bagian akhir buku, kita ditunjukkan dengan sedikit kisah politis yang tetap dibalut dengan bahasa yang santai dan jenaka.
Seperti bagaimana media massa menjadi tumpul perlahan-lahan setelah hadirnya media sosial, pergeseran target market yang semakin hari semakin meragukan kredibilitas media.
Selain itu, para pengiklan yang lebih memilih AdSense karena memiliki jangkauan yang lebih luas dibandingkan dengan mengiklankan produknya di TV.
Ada satu bagian yang menarik ketika membahas tentang profesi Youtuber dan Influencer di sosial media, karena saya sendiri juga praktisi sekaligus Youtuber (walaupun belum dapat uang AdSense).
Bagian ini seperti “menyindir” saya sebagai Youtuber karena telah merebut panggung media massa yang sudah berkuasa sejak puluhan tahun yang lalu.
Hari-hari ini seakan-akan aspek jurnalisme yang hakiki untuk memfilter informasi-informasi palsu juga seakan tidak berlaku. Sosial media dengan viralitasnya meluluhlantakkan aspek-aspek tersebut.
Didukung dengan masyarakat yang kurang memahami aspek-aspek jurnalistik yang lumayan njelimet itu, mereka hanya sekadar posting, share, dan viral tanpa mengetahui dampak yang ditimbulkan.
Sekali lagi, buku ini sukses membahas topik bahasan yang sebenarnya, rumit tetapi dikemas dengan gaya yang santai dan jenaka. Membaca buku ini serasa bercengkrama langsung dengan Pak Iqbal sebagai penulis buku.
Jika anda mendapatkan buku Sapiens di Ujung Tanduk dengan separuh harga (bukan buku bajakan), buku ini akan menjadi sangat-sangat worth to buy.
Editor : Khasan Rochmad