LAMONGAN - Di Desa Paciran, Kabupaten Lamongan, kegiatan mengupas daging rajungan matang–dikenal dengan istilah nguplik–masih menjadi salah satu pilihan utama perempuan dalam menopang ekonomi keluarga.
Bekerja secara informal dan fleksibel, pekerjaan ini dipilih bukan hanya oleh ibu rumah tangga, tetapi juga oleh lulusan perguruan tinggi yang kesulitan mendapatkan pekerjaan formal saat ini.
"Sudah kirim lamaran ke banyak tempat, tapi tidak ada panggilan. Akhirnya ikut ibu nguplik rajungan hasil tangkapan bapak,” kata Yeni, 25 tahun, lulusan sarjana ekonomi yang kini membantu ibunya setiap hari.
Kegiatan nguplik biasanya dilakukan sekitar pukul 9 atau 10 pagi dan biasanya selesai menjelang sore hari. Ini tergantung dengan jumlah rajungan matang yang tersedia.
Baca Juga : Dua Truk Terlibat Kecelakaan di Jalur Pantura Lamongan, Tidak Ada Korban Jiwa
Karena tidak terikat sistem, mereka dapat memilih hari untuk bekerja atau beristirahat sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.
Jika stok rajungan kosong atau kualitas rajungan sedang buruk, pekerjaan ini bisa ditunda hingga esok harinya, ketika rajungan baru datang.
Pekerjaan ini dilakukan di rumah atau di tempat pengumpulan secara berkelompok maupun mandiri. Tidak ada kontrak atau jam kerja tetap, dan sistem upah dihitung berdasarkan jumlah hasil kupasan.
Baca Juga : Hujan Deras Sebabkan Kemacetan 10 Km di Jalur Pantura Lamongan-Babat
Meski upahnya tidak tinggi dan cenderung naik turun, sebagian pekerja mengaku tidak mempermasalahkan harga karena lebih menghargai kebebasan waktu dan kedekatan lokasi kerja dengan rumah.
"Saya lebih suka kerja begini. Tidak dipaksa. Mau kerja ya kerja, kalau libur ya libur,” ujar Nur, perempuan 32 tahun yang sudah 5 tahun menjadi pengupas rajungan.
Baca Juga : Arus Lalu Lintas Padat, Parkir Truk di Jalur Pantura Lamongan-Babat Membahayakan Pengendara
Dalam masyarakat Paciran, yang masih kental dengan budaya patriarki, pekerjaan seperti nguplik dianggap cocok karena tidak menabrak norma sosial yang ada dan tetap memungkinkan perempuan menjalankan peran domestik.
"Bekerja di rumah atau dekat rumah membuat kami tetap bisa masak, ngurus anak, tapi juga punya penghasilan,” kata Bu Silvi, seorang ibu dari dua anak.
Mereka tidak merasa menjadi “buruh”, bahkan menolak disebut demikian karena merasa tetap punya kendali atas waktu dan pilihan mereka sendiri.
Baca Juga : Truk Pengangkut Makanan Beku Terguling di Lamongan, Sopir Mengaku Mengantuk
Di sisi lain, mereka tetap menyadari bahwa status pekerjaan mereka belum terlindungi oleh hukum atau jaminan sosial lainnya.
Meski begitu, pilihan bekerja secara fleksibel seperti ini dinilai sebagai bentuk perlawanan halus terhadap sistem sosial yang membatasi ruang gerak perempuan.
Nguplik menjadi jalan tengah antara kebutuhan ekonomi, tuntutan budaya, dan keinginan perempuan untuk tetap berdaya.
Baca Juga : Bawa KTA Polisi Palsu, Dua Pemuda Tembak Warga Lamongan
Editor : Khasan Rochmad