SURABAYA - L20 Summit 2025 resmi ditutup. Di hari terakhir delegasi dari Indonesia, William Yani Wea mendapat kesempatan menyampaikan pendapatnya.
Ketua Umum Serikat Pekerja Informal Migran dan Pekerja Profesional Indonesia (SP IMPPI) mengatakan saat ini kita sedang berdiri di titik balik sejarah.
Ia mengingatkan, digitalisasi dan kecerdasan buatan (AI) mengubah dunia kerja dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Namun mari kita bicara jujur: Jutaan pekerja sedang ditinggalkan karena munculnya kecerdasan buatan atau AI," kata pria yang akrab disapa Willy itu, Selasa (29/7/2025).
Baca Juga : Hadapi Era Kecerdasan Buatan, Prodi Robotika dan AI Untag Siapkan SDM Unggul
Willy melanjutkan, di Indonesia, pihaknya menyaksikan pekerjaan menghilang. Kasir digantikan mesin, sopir dikendalikan algoritma, dan pekerja kantoran diberhentikan atas nama restrukturisasi digital.
Ia menilai ini bukanlah inovasi jika yang ditinggalkan adalah ketidakpastian dan kemiskinan. Ini adalah eksploitasi yang memakai wajah modern.
"Kami, gerakan serikat pekerja Indonesia, menyatakan dengan tegas, cukup sudah. Kami menerima kemajuan, tetapi bukan dengan mengorbankan keadilan. Maka kami bertindak," tegasnya.
Karena itu, menyampaikan. Sejumlah tuntutan. Pertama, kami menuntut transisi yang adil. Setiap pekerja yang terdampak teknologi harus mendapat dukungan,bpelatihan ulang, peningkatan keterampilan, dan jaminan untuk pekerjaan baru yang layak.
"Tak seorang pun boleh dikorbankan demi efisiensi," ujarnya.
Kedua, pihaknya menuntut tata kelola teknologi yang adil. Willy menyontohkan, algoritma tidak boleh dibiarkan mengambil keputusan rahasia yang menentukan nasib manusia.
"Kami menyerukan transparansi, akuntabilitas, dan regulasi yang kuat—karena keadilan tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mesin," tambahnya.
Ketiga, pihaknya berjuang untuk mengorganisir semua pekerja. Pekerja gig, pekerja platform, freelancer, mereka juga pekerja. Mereka berhak atas perlindungan hukum, hak berserikat, dan jaminan sosial. Tidak boleh ada yang tertinggal.
"Saudara-saudari sekalian, ini adalah perjuangan global. Teknologi bersifat global, maka solidaritas kita juga harus global," tandasnya.
Putra tokoh buruh Jacob Nua Wea itu menyerukan kepada pemerintah, institusi, dan perusahaan. Jangan pernah berpaling dari orang-orang yang membangun ekonomi.
Willy mengatakan, digitalisasi tidak boleh memperlebar ketimpangan. Justru harus diarahkan untuk melayani manusia, bukan menggantikannya.
"Kami berdiri bersatu dengan satu pesan yang jelas. Pekerja bukan barang sekali pakai. Hak bukan pilihan dan keadilan bukan tawar-menawar. Terima kasih. Hidup solidaritas!," pungkasnya. (*)
Editor : M Fakhrurrozi