PROBOLINGGO - Menjelang perayaan Natal, Gereja Immanuel atau yang lebih dikenal sebagai Gereja Merah di Kota Probolinggo tampak bersolek. Hiasan Natal mulai terpasang, sementara jemaat rutin berlatih lagu-lagu pujian. Gereja berusia lebih dari satu abad ini kembali menjadi pusat peribadatan umat Kristiani di Kota Probolinggo.
Lis Karsten, pengurus Gereja Merah, menyampaikan bahwa persiapan Natal selalu menjadi momen istimewa bagi jemaat. Menurutnya, jemaat secara bersama-sama menghias pohon Natal dan melakukan latihan paduan suara agar suasana ibadah Natal berlangsung lebih khidmat.

"Persiapan menyambut Natal sudah kami lakukan satu bulan sebelumnya. Terutama untuk untuk tata ibadah yang dari sinode dan kebutuhan-kebutuhan jemaat lainnya, termasuk petugas-petugasnya," ujar Lis Karsten.
Sementara itu, salah satu jemaat, Leonar, mengungkapkan kebanggaannya dapat memberikan pelayanan di gereja bersejarah tersebut. Ia menilai beribadah di Gereja Merah memberikan nuansa berbeda karena nilai sejarah yang kuat, sehingga menambah kekhusyukan.
Leonar mengaku telah menyiapkan diri bersama jemaat untuk memeriahkan perayaan Natal.
"Persiapan Natal sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Kami rutin melakukan latihan paduan suara, vocal group, dan pemandu lagu untuk ibadah. Selain itu, kami juga menyiapkan dekorasi dan menghias gereja agar perayaan Natal nanti lebih meriah," kata Leonar.
Gereja Merah terletak di Jalan Suroyo Nomor 32, Kota Probolinggo. Bangunan peninggalan Belanda ini dibangun pada tahun 1862, sebagaimana tertera di bawah undakan pintu gereja. Hingga kini, gereja masih digunakan aktif, khususnya untuk perayaan Natal.

Keunikan Gereja Merah terletak pada konstruksinya. Sekitar 80 persen bangunan terbuat dari besi baja dan seng, sementara sisanya menggunakan kayu jati. Gereja berukuran 12 kali 30 meter ini dibangun dengan sistem knock down atau bongkar pasang. Tiang penyangga menggunakan besi baja, dinding terbuat dari seng tebal, dan kuda-kuda atap disusun dari besi yang dibaut.
Meski telah berusia 163 tahun, kondisi bangunan masih kokoh. Tidak terlihat kerusakan serius maupun karat pada struktur utama. Hingga saat ini, pihak gereja juga belum melakukan pemugaran besar sehingga keaslian bangunan tetap terjaga.
Keaslian itu tampak pada detail interior. Kaca-kaca jendela masih mempertahankan ukiran lama dengan simbol salib, trinitas, dan Roh Kudus. Mimbar pendeta serta bejana pembaptisan juga masih asli sejak gereja pertama kali dibangun.

Tak hanya itu, Gereja Merah menyimpan berbagai benda bersejarah. Alat sakramen berupa cawan, teko, dan sloki dari kuningan buatan tahun 1868 masih digunakan hingga kini. Terdapat pula Alkitab berbahasa Belanda kuno dengan sampul kulit, yang dibuat pada tahun 1618 -1619. Meski beberapa bagian sudah usang dan robek, kitab tersebut tetap dirawat dengan baik.
Menurut pengurus gereja, bangunan Gereja Merah seperti ini konon hanya ada dua di dunia, masing-masing berada di Belanda dan Indonesia. Di Indonesia, satu-satunya berada di Kota Probolinggo.
Menjelang Natal, gereja berkapasitas sekitar 200 jemaat ini dipastikan tetap digunakan untuk ibadah. Suasana khidmat berpadu dengan nilai sejarah menjadikan Gereja Merah bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga saksi perjalanan panjang toleransi dan warisan budaya di Kota Probolinggo. (*)
Editor : A. Ramadhan




















