PACITAN - Putri Wulandari, perempuan asal Wonogiri, Jawa Tengah, resmi divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pacitan, Rabu (2/7/2025), setelah sebelumnya dituduh sebagai mucikari dan menjalani proses hukum yang penuh kejanggalan. Putusan ini bukan sekadar akhir dari satu perkara, melainkan pembuka tabir kelam yang menyelimuti wajah penegakan hukum di institusi kepolisian, khususnya di Polres Pacitan.
Putri ditangkap pada 26 Februari 2025 di sebuah hotel kawasan Lingkungan Teleng, Kelurahan Sidoharjo, Pacitan. Namun, alih-alih menjalani proses hukum dengan hak-haknya sebagai tersangka dilindungi, Putri justru menjadi korban kekerasan seksual di dalam sel tahanan. Tak tanggung-tanggung, ia mengalami pencabulan hingga persetubuhan sebanyak empat kali oleh seorang oknum perwira menengah Aiptu Lilik Cahyadi, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Satuan Tahanan dan Barang Bukti (Tahti) di Mapolres Pacitan.
Pelanggaran etik berat tersebut akhirnya berujung pada pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Aiptu Lilik oleh Bidang Propam Polda Jawa Timur, dan kasusnya telah dilimpahkan ke ranah pidana umum. Namun, vonis ini tidak serta-merta menghapus pertanyaan besar yang menggantung di hadapan publik, bagaimana mungkin ruang tahanan yang semestinya menjadi simbol tertib hukum berubah menjadi ruang kekuasaan dan kekerasan?
Koordinator Presidium Forum Alumni HMI-Wati (FORHATI) Pacitan, Sittah Annangimah Annurul Qodriyah, menegaskan bahwa fokus perhatian mereka bukan pada status hukum Putri bersalah atau tidak, melainkan pada kenyataan bahwa siapa pun, bahkan seorang terdakwa, tetap memiliki hak atas perlindungan tubuh dan martabatnya.
Baca Juga : Penampilan Memukau Ronthek Nawangan, Angkat Tradisi Bersih Kali Pengason
"Apakah yang bersangkutan dinyatakan bersalah atau bebas, itu tidak menjadi pembeda bagi kami. Fokusnya adalah bahwa pada seseorang yang bersalah sekalipun tidak lantas bisa dijadikan objek tindak kriminal," tegas Sittah Rabu, (02/07/2025) malam.
Pernyataan tersebut menggarisbawahi masalah struktural dalam institusi kepolisian, adanya celah kekuasaan yang dapat disalahgunakan, dan lemahnya mekanisme kontrol internal yang memungkinkan pelanggaran semacam ini terjadi.
Kasus ini bukan hanya mencoreng nama baik Polres Pacitan, tetapi juga menjadi alarm keras bagi institusi Polri secara nasional. Seiring upaya reformasi kelembagaan yang selama ini didengungkan, kasus Putri menjadi contoh nyata mengapa reformasi Polri tidak bisa berhenti pada penegakan hukum terhadap masyarakat, tetapi juga harus menyentuh tata kelola internal, etika profesi, serta keberpihakan pada nilai-nilai hak asasi manusia. (Edwin Adji)
Editor : JTV Pacitan