Pemutaran video Presiden Prabowo Subianto sebelum film di bioskop memicu pro dan kontra di media sosial. Banyak yang menilai langkah ini sebagai pencitraan, sementara ada yang menganggap ini sebagai cara pemerintah menyampaikan informasi mengenai kinerjanya selama menjabat.
Dalam video yang ditampilkan, Prabowo menyatakan selalu siap untuk menghapus kemiskinan di Indonesia, keberhasilan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sudah berjalan sejak awal tahun ini, pembukaan 80 ribu Koperasi Desa Merah Putih dan pengoperasian 5.800 satuan pelayanan gizi atau SPPG di seluruh Indonesia.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai pemutaran video program Prabowo sebelum film utama sebagai bentuk indoktrinasi ala rezim otoriter. Ia meminta pemerintah menghentikan tayangan itu dan meminta maaf, karena dianggap merendahkan kecerdasan publik serta berisi propaganda yang tak sesuai fakta. Usman menekankan pemerintah seharusnya fokus memulihkan kepercayaan masyarakat, bukan memaksakan klaim sepihak.
Beberapa warganet banyak yang menyindir, “Kayaknya butuh validasi banget sampai harus tayang di bioskop.” Komentar lain menambahkan, “Ini malah ganggu pengalaman nonton, jadi malas datang tepat waktu.”
Tak sedikit warganet menyinggung sikap Prabowo yang dulu pernah menggugat penayangan iklan infrastruktur Jokowi di bioskop karena dianggap kampanye terselubung. Saat Pilpres 2019, tim hukum Prabowo-Sandi menilai iklan itu melanggar aturan pemilu karena memakai dana APBN dan disiarkan secara masif di bioskop. Kini, ketika video Prabowo diputar di layar bioskop, muncul komentar seperti, “Dulu menggugat, sekarang meniru.”
Meski begitu, ada yang melihat sisi positif. “Ini salah satu cara penyampaian program pemerintah kepada masyarakat luas biar warganya lebih berwawasan lagi tentang negaranya sendiri,” ujar seorang pengguna.
Sebagian penonton memberi saran yang mau menghindari video tersebut. “Datang saja 10 menit setelah jam di tiket, film biasanya belum mulai,” saran seorang komentar.
Perdebatan ini menunjukkan masyarakat berbeda pendapat ada yang menganggapnya inovasi komunikasi pemerintah, ada pula yang menilai sebagai promosi politik yang tidak perlu. (Nevenia)
Editor : M Fakhrurrozi