Menu
Pencarian

Jalan Sunyi Buruh Panggul Perempuan Pasar Pabean

Alfi Damayanti - Kamis, 1 Mei 2025 12:15
Jalan Sunyi Buruh Panggul Perempuan Pasar Pabean
Jalan Sunyi Buruh Panggul Perempuan Pasar Pabean. (Foto: Alfi Damayanti)

SURABAYA - Lantai yang basah, bau amis ikan  dan aroma yang campur aduk khas pasar tradisional menyergap tajam hidung siapa pun yang melintas.

Namun, bagi Masruroh aroma itu adalah keseharian yang sudah meresap hingga ke ujung napasnya selama lebih dari tiga dekade. Langkah kaki perempuan itu terdengar sayup di antara deru aktivitas pasar yang riuh dan sibuk.

Pasar Pabean Surabaya menjadi satu-satunya tempat Masruroh menggantungkan nasib. Setiap hari, ia harus mencari nafkah sebagai buruh panggul dengan pendapatan yang tak seberapa.

Ia biasa memikul beban dengan berat berkisar 50 kg hingga 60 kg. Perkara upah, ia hanya diberi lima ribu rupiah untuk sekali angkut. Pendapatan harian pun tak menentu.

Terkadang ada dua sampai lima orang yang memakai jasa panggulnya. Namun, tak jarang juga ia tidak mendapatkan pelanggan, hingga harus memutar otak untuk bisa membawa pulang beberapa lembar rupiah. 

“Kadang gak ada sama sekali. Kadang ada, 2 orang 5 orang, nunggu disuruh orang. Kalau gak ada ya duduk,” tutur Masruroh sambil tersenyum kecut.

Masruroh mengungkapkan keinginannya untuk beralih pekerjaan dengan pendapatan yang lebih pasti, minimal bekerja di toko yang diberi gaji setiap bulannya.

Namun, di usianya yang menginjak 45 tahun, sulit baginya untuk bersaing dengan tenaga kerja yang lebih muda dibanding dengan usianya.

Persyaratan usia kerja menjadi perdebatan yang pelik di tengah masyarakat. Dianggap membatasi peluang dan diskriminasi terhadap pencari kerja.

Soal usia, Masruroh memang tak bisa lagi dianggap muda. Namun, semangat dan kekuatannya tidak perlu diragukan lagi dari kesehariannya memikul berpuluh-puluh kilo beban di atas kepalanya.

Di sudut pasar lainnya, Muslimah duduk berselonjor, mengupas bawang dengan cekatan. Muslimah juga merupakan salah satu dari para perempuan tangguh Pasar Pabean.

Setiap harinya, Muslimah juga turut berjibaku dengan pekerjaan yang lazim dilakoni oleh laki-laki, yakni sebagai buruh panggul di pasar tersebut.

Muslimah tak ingat pasti kapan memulai pekerjaan penuh risiko tersebut. Kurang lebih saat usianya masih remaja, ia sudah akrab dengan pasar yang telah berdiri sejak 1849 tersebut.

Muslimah tinggal dengan anak dan cucunya. Suaminya telah meninggal dan anak pertamanya merantau ke Malaysia menitipkan sang buah hati kepadanya. Sementara, anak keduanya menganggur dan tidak mau bekerja.

Himpitan keuangan memaksa Muslimah menjadi buruh panggul dengan upah yang pas-pasan. Sebagai tulang punggung keluarga, ia rela mencari penghasilan lebih dengan mengupas bawang putih.

Hal tersebut dilakukannya saat waktu luang sembari menunggu panggilan untuk memikul barang. Namun, hasilnya pun tak seberapa. Ia hanya diberi upah lima ribu rupiah untuk satu karung bawang putih yang berhasil ia kupas.

Muslimah mengaku sering merasakan pegal dan sakit di punggungnya. Jelas saja, setiap hari ia harus berhadapan dengan karung bawang, kemiri, kopi dan lain sebagainya yang memiliki bobot hingga puluhan kilo.

Karena keterbatasan finansial, Muslimah hanya mengobati rasa pegalnya tersebut dengan minum jamu tradisional seminggu sekali. 

"Iya sakit dek, kalau sampai 50 sakit ini geger (punggung). Kalau berobat ya di sini seminggu sekali, beli jamu,” ungkapnya sambil mengupas satu persatu kulit bawang yang menempel.

Jika rasa sakitnya terlampau parah dan tak kunjung sembuh, Muslimah hanya bisa mengandalkan dokter kampung yang buka praktik di rumah. Ia mengaku tidak pernah datang ke Puskesmas karena tidak tahu akses untuk berobat ke sana. 

Sungguh ironi, di tengah gegap gempita kota metropolitan Surabaya, akses terhadap kesehatan masih belum menyentuh masyarakat miskin kota.

Mereka hanya mengandalkan obat tradisional tatkala rasa sakit menghampiri, serta mengharap kerendahan hati dokter yang memberi tarif murah untuk menyembuhkan diri.  

Cerita serupa juga datang dari Markonah. Perempuan asal Sampang tersebut rela meninggalkan kampung halamannya dengan harapan bisa mendapat pekerjaan yang lebih layak.

Sayangnya, Kota Pahlawan begitu berat untuk ditaklukan oleh Markonah. Ia hanya bisa menjadi buruh panggul dengan upah yang tidak seberapa.

Sudah hampir 26 tahun Markonah menekuni pekerjaan sebagai buruh panggul. Namun, upah lima ribu rupiah baru ia rasakan di tahun 2021. Sebelumnya, miris. Para buruh panggul hanya diberi upah dua ribu rupiah untuk sekali panggul. 

Markonah bercerita bahwa dirinya tidak memiliki pilihan lain untuk mencari pekerjaan yang layak. Ini dikarenakan kurangnya pendidikan dan keterampilan yang ia miliki.

Jarang ada pengusaha yang mau menerima orang-orang yang tidak memiliki ijazah. Alhasil, Markonah rela menjadi buruh panggul untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Gak bisa yang lain dek, kerja apalagi, terpaksa. Soalnya dulu gak sekolah,” tutur Markonah di sudut pasar yang sedikit sepi. 

Cerita di atas hanyalah segelintir dari banyaknya buruh pikul yang mengadu nasib di pasar yang sudah eksis sejak zaman kolonial tersebut. Suara mereka tenggelam oleh riuh pasar, eksistensi mereka kian memudar.

Padahal, di balik setiap karung yang berpindah, ada peluh yang menetes dalam sunyi, ada doa yang terselip dalam setiap langkah mereka mencari nafkah.

Jalan sunyi buruh panggul perempuan Pasar Pabean bukan sekadar kisah ketegaran, tetapi potret ketimpangan sosial yang masih menjadi problematika tak terselesaikan.

Editor : Khasan Rochmad






Berita Lain



Berlangganan Newsletter

Berlangganan untuk mendapatkan berita-berita menarik dari PortalJTV.Com.

    Cek di folder inbox atau folder spam. Berhenti berlangganan kapan saja.