Di tengah berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia, beberapa orang memilih untuk berempati atas masalah tersebut, namun beberapa juga memilih untuk tidak peduli akan permasalahan yang terjadi. Pembahasan terkait ekonomi di Indonesia menjadi trending topic yang menyayat hati rakyat. Tak sedikit yang sadar akan hal ini, namun tetap bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa dan berbicara tanpa memikirkan hati seseorang yang terkena dampaknya.
Fenomena ini disebut dengan tone deaf, istilah yang menggambarkan ketidakpekaan seseorang terhadap situasi sosial, emosional, dan budaya di sekitarnya. Mayoritas orang yang melakukannya (tone deaf) merupakan orang-orang yang dari kelas atas.
Di media sosial, banyak sekali unggahan-unggahan yang berisi tentang susahnya mencari pekerjaan, berusaha sekuat tenaga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari di saat harga bahan pokok terus meroket. Namun di sisi lain,kita juga disuguhkan oleh unggahan-unggahan tentang gaya hidup mewah, over consume barang mewah dengan caption yang seolah-olah tidak memikirkan kondisi ekonomi saat ini.
Menjadi tone deaf bukan hanya sikap tidak tahu atau blunder, namun ini adalah cerminan dari apatis. Dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, tone deaf menjadi luka kedua bagi mereka yang merasakan dampak kondisi ekonomi Indonesia.
Baca Juga : Kunjungan Presiden Macron ke Borobudur Jadi Momentum Penguatan Kemitraan Kreatif Indonesia-Prancis
Adanya tone deaf ini semakin menunjukkan strata sosial yang ada di Indonesia. Kita tahu bahwa kita tidak dapat mengendalikan semua kondisi ekonomi, namun kita bisa menjadi peka dan memahami kondisi orang lain dan tidak menjadi bagian dari masalah sosial.
Bukan berarti kita harus terus bersedih dan menyalahkan negara, tapi menunjukkan sikap peduli, menyuarakan keadilan, atau sekedar tidak mengabaikan kenyataan kondisi sosial merupakan bentuk solidaritas yang dibutuhkan saat ini.
Editor : M Fakhrurrozi