JEMBER - Di tengah riuh wacana ekonomi kerakyatan dan digitalisasi desa, sebuah program baru menyita perhatian publik: Koperasi Merah Putih (KMP). Dalam permukaan, ia tampak menjanjikanmembawa gagasan pemberdayaan ekonomi dari desa, dengan balutan teknologi digital, serta jargon kebangkitan koperasi. Namun, di balik antusiasme awal itu, mengendap pertanyaan penting: apakah KMP benar-benar instrumen kedaulatan ekonomi rakyat, atau justru ladang subur bagi akumulasi kuasa elite dalam wajah baru?
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa dan Kelurahan menargetkan pembentukan 80.000 koperasi di seluruh Indonesia. Angka yang masif ini disebut sebagai bagian dari strategi mendorong ekonomi kerakyatan berbasis komunitas. Presiden Joko Widodo menyebutnya sebagai upaya besar menciptakan “pusat pertumbuhan ekonomi baru dari bawah.” Namun, seperti pepatah lama: semakin besar wacana, semakin besar pula godaan untuk membelokkannya dari cita-cita awal.
Secara historis, koperasi bukan hal baru. Mohammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, meletakkan koperasi sebagai alat emansipasi ekonomi, bukan sekadar unit usaha. Dalam semangat “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat,” koperasi didesain untuk menantang dominasi kapitalisme individualistik. Hal ini juga ditegaskan dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Namun, realitas jauh dari idealisme. Data BPS tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 50% koperasi di Indonesia tidak aktif, dengan akar masalah pada lemahnya manajemen, rendahnya literasi anggota, dan praktik korupsi pengurus.
Kehadiran KMP memberi napas baru melalui pendekatan digital: aplikasi daring, sistem pencatatan transaksi otomatis, dan pelibatan anggota dalam voting berbasis elektronik. Model ini selaras dengan Teori Ekonomi Partisipatoris Michael Albert dan Robin Hahnel, yang menekankan pentingnya demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan dan distribusi sumber daya. Dalam kerangka ini, warga tidak hanya menjadi objek, tetapi subjek pembangunan.
Namun, inovasi digital tidak akan cukup jika tidak ditopang kapasitas institusi lokal. Survei BPS 2023 mengungkapkan bahwa hanya 21,4% masyarakat memahami prinsip koperasi. Tanpa pembinaan intensif dan literasi ekonomi yang kuat, transformasi digital hanya akan menjadi “kulit modernisasi”—menyilaukan dari luar, rapuh di dalam. Dalam Teori Kapasitas Institusional (Grindle, 1997), keberhasilan kebijakan ditentukan bukan hanya oleh regulasi, tetapi oleh kecakapan aktor, integritas tata kelola, dan daya tahan kontrol sosial.
Semakin ke bawah, tantangan bukan berkurang, melainkan bertambah rumit. Di beberapa wilayah, rekrutmen pengurus KMP dilakukan tanpa mekanisme seleksi yang jelas. Banyak di antaranya adalah “orang dekat kepala desa”, bukan karena kapasitas, tetapi karena loyalitas. Belum lagi keterbatasan monitoring independen, membuat KMP rentan dijadikan alat mobilisasi politik menjelang Pemilu 2029. Situasi ini mengingatkan kita pada James Scott dalam teori state simplifications-nya: negara sering kali menyederhanakan kompleksitas lokal demi kepentingan kontrol birokrasi dan kekuasaan pusat.
Tak kalah mengkhawatirkan adalah narasi tunggal tentang kesuksesan KMP yang dibentuk melalui akun-akun media sosial tidak terverifikasi. Dalam perspektif hegemoni Antonio Gramsci, ini dapat dipahami sebagai bentuk dominasi kultural di mana opini publik dikonstruksi dari atas tanpa membuka ruang kritik dari bawah. Ketika narasi terlalu dikendalikan, partisipasi rakyat bisa berubah menjadi formalitas, bukan kesadaran kolektif.
Namun, gelap tak berarti tanpa cahaya. Di Jember, sejumlah komunitas tani, UMKM, dan kelompok perempuan bergerak secara mandiri membentuk koperasi digital berbasis komunitas. Mereka mengadopsi sistem bagi hasil transparan untuk pertanian organik dan usaha kuliner lokal. Ini sejalan dengan teori agency Amartya Sen, yang menyatakan bahwa pembangunan sejati adalah ketika warga memiliki kebebasan dan kemampuan untuk memilih arah hidupnya sendiri.
Di lapangan, tantangan teknis justru menjadi penghambat utama. Laporan Lembaga Advokasi Ekonomi Rakyat (2025) menyebut hanya 18% KMP yang benar-benar operasional dengan sistem administrasi keuangan terdokumentasi. Sisanya masih tertatih-tatih, tergantung pada pelatihan dari dinas koperasi yang kadang tidak sesuai dengan kebutuhan spesifik daerah.
Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, lebih dari 70% pengurus koperasi mengaku hanya menerima satu kali pelatihan digital tanpa pendampingan lanjutan. Infrastruktur juga menjadi kendala: banyak desa belum memiliki jaringan internet stabil, aplikasi koperasi belum terintegrasi dengan perbankan lokal, dan tidak ada SOP nasional tentang pengelolaan koperasi digital. Alih-alih akselerasi digital, yang terjadi adalah kebingungan massal di tingkat pelaksana.
Solusi bukan mustahil, tetapi harus berlapis dan sistematis. Pertama, pemerintah perlu membentuk Satgas Koperasi Digital di tingkat provinsi yang melibatkan akademisi, praktisi TI, dan komunitas koperasi. Kedua, alokasi Dana Insentif Daerah (DID) harus berbasis kinerja nyata dalam pembinaan koperasi. Ketiga, pemerintah perlu membangun sistem pengaduan publik berbasis aplikasi untuk meminimalkan praktik manipulatif dan penyelewengan dana koperasi.
Di sisi lain, pendekatan pentahelix sangat relevan. Pemerintah sebagai fasilitator, kampus sebagai pusat literasi, pelaku usaha sebagai mitra ekonomi, masyarakat sebagai aktor sosial, dan media sebagai pengawas publik. Kampus bisa membentuk inkubator koperasi yang merancang sistem manajemen dan aplikasi digital. Media lokal seperti JTV bisa menjadi corong kontrol sosial, memperluas wacana, dan menyoroti problem-problem lokal yang sering tersembunyi di balik kemegahan program nasional.
Koperasi Merah Putih bukan sekadar proyek teknokratik. Ia adalah ruang kontestasi ideologi dan praksis sosial. Apakah ia benar-benar akan menjadi jalan keluar dari krisis ekonomi rakyat atau justru jebakan populisme digital belaka? Semua tergantung pada sejauh mana publik dilibatkan secara kritis, bukan dimobilisasi secara artifisial.
Jika prinsip transparansi, literasi, dan partisipasi tidak dijadikan fondasi utama, maka yang terjadi bukanlah lahirnya koperasi rakyat, melainkan koperasi elite yang menjual wajah rakyat. Di titik ini, program sebesar KMP tidak lebih dari daur ulang kegagalan lama dalam kemasan teknologi barurapi di permukaan, rapuh di akar rumput.
Tentang Penulis:
Dosen Pendidikan IslamI, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, UIN KHAS Jember, Pemerhati Pendidikan Islam Inklusif, Sosial dan Ekonomi Kerakyatan.
Email: rockyach85@gmail.com | WA: 081336523880