MAKKAH - Kementerian Agama (Kemenag) menjelaskan penyebab terjadinya fenomena "pecah kloter" dalam pelaksanaan ibadah haji 2025. Salah satu pemicunya adalah keterlambatan penerbitan visa jemaah haji di awal masa pemberangkatan.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU) Kemenag, Hilman Latief, mengatakan bahwa kondisi ini membuat sebagian jemaah yang sudah dijadwalkan berangkat tidak bisa naik pesawat karena visanya belum keluar. Akibatnya, kursi yang kosong terisi oleh jemaah dari kloter lain yang visanya sudah siap.
"Sebagian visa jamaah kita belum terbit, padahal mereka sudah dijadwalkan untuk berangkat. Konsekuensinya, kursi yang kosong diisi oleh jemaah dari kloter lain yang visanya sudah siap. Ini terjadi selama beberapa hari,” ujar Hilman dalam konferensi pers di Makkah, Minggu (18/5).
Perubahan ini berdampak pada tercampurnya jemaah dari kloter yang berbeda, yang masing-masing ditangani oleh penyedia layanan atau syarikah yang berbeda pula. Sistem syarikah mulai diterapkan penuh oleh Arab Saudi pada musim haji 2025 ini, menggantikan sistem layanan tunggal sebelumnya.
“Dengan sistem syarikah ini, terjadi pemisahan penempatan hotel dan layanan berdasarkan penyedia layanan. Di sinilah kadang suami-istri atau lansia dan pendampingnya bisa terpisah,” jelas Hilman.
Untuk mengatasi hal ini, Kemenag telah menyiapkan skema reunifikasi, yaitu penggabungan kembali jemaah yang terpisah, terutama suami-istri, mahram, atau lansia dengan pendampingnya.
“Kami sudah siapkan langkah-langkah reunifikasi. Baik suami-istri, mahram, hingga lansia dengan pendampingnya. Kami akan terus koordinasi dengan pihak syarikah dan Kementerian Haji Arab Saudi agar penggabungan ini bisa difasilitasi sebaik mungkin,” lanjutnya.
Menurut Hilman, sistem baru ini memang menantang, namun bertujuan untuk meningkatkan fokus dan kualitas layanan, khususnya saat puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
“Dengan delapan syarikah, kita berharap pelayanan di Armuzna lebih maksimal. Termasuk tenda, konsumsi, dan transportasi,” katanya. Ia juga meminta seluruh pihak untuk tetap mendukung proses reformasi layanan haji yang sedang berlangsung.
“Kami menyadari sistem ini baru dan tidak mudah, tapi semua pihak terus bekerja keras. Kami butuh dukungan dan kesabaran. Yang penting, tidak ada jemaah yang kami abaikan,” tegas Hilman.
Sementara itu, Ketua Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, Muchlis Hanafi, menyampaikan bahwa transisi layanan dari sistem kloter ke sistem syarikah bukanlah kebijakan sepihak Indonesia. Perubahan ini merupakan penyesuaian terhadap regulasi resmi Pemerintah Arab Saudi sejak 2022.
“Tentu tidak mudah. Ini proses transisi. Dari satu syarikah tahun lalu, kini kita ditangani oleh delapan syarikah,” kata Muchlis dalam konferensi pers di Kantor Daker Makkah, Minggu (18/5).
Ia menjelaskan bahwa perbedaan karakter dan sistem kerja masing-masing syarikah membuat koordinasi lebih kompleks dibanding sebelumnya.
“Koordinasi tidak sesederhana ketika semua satu tangan. Dulu hanya satu syarikah, sekarang delapan, dengan karakter yang berbeda,” ujarnya.
PPIH telah melakukan sejumlah langkah penyesuaian, seperti penandaan koper, paspor, dan pakaian jemaah berdasarkan warna syarikah, serta pengaturan ulang bus dan akomodasi.
“Kita ingin menjaga agar jemaah tetap nyaman dan tidak panik. Kalau pun ada yang terpisah sementara, nanti akan diupayakan penggabungannya di Makkah,” kata Muchlis.
Ia menegaskan bahwa keberhasilan layanan sangat bergantung pada kerja sama lintas sektor. Seluruh petugas, baik di Tanah Air maupun Arab Saudi, diminta bersinergi menjelang puncak haji yang tinggal 20 hari lagi. (Dhimas Ginanjar)
Editor : A. Ramadhan