Ketika Donald Trump kembali menapak panggung politik Amerika Serikat dengan retorika yang tak berubah sejak kampanye pertamanya pada 2016, satu hal yang kembali mengemuka adalah pendekatan agresif terhadap perdagangan internasional, khususnya melalui tarif impor. Tahun 2025 menandai gelombang baru dalam strategi proteksionisme ekonomi Trump yang memicu kontroversi global. Di tengah janji kampanye untuk "membawa pulang pekerjaan" dan "membela manufaktur Amerika", kebijakan tarif tinggi terhadap produk asing, khususnya dari Tiongkok, kembali diluncurkan dengan semangat yang sama. Namun, seperti badai yang sudah pernah menerpa, publik Amerika kembali dihadapkan pada dilema ekonomi klasik: antara mendukung industri domestik atau menanggung beban kenaikan harga sebagai konsumen.
Tarif atau bea masuk adalah senjata klasik dalam perang dagang. Di tangan Trump, tarif bukan sekadar alat kebijakan fiskal, tetapi senjata geopolitik yang dibungkus dalam jargon nasionalisme ekonomi. Pemerintahannya mengusulkan tarif baru hingga 60% terhadap berbagai produk Tiongkok, mulai dari elektronik, mobil, hingga barang konsumsi rumah tangga. Kebijakan ini dinarasikan sebagai tameng terhadap praktik perdagangan tidak adil dan sebagai cara untuk menghidupkan kembali sektor manufaktur yang telah lama tergerus oleh globalisasi.
Namun, realitas ekonomi tidak sesederhana retorika politik. Tarif pada dasarnya adalah pajak impor. Ketika produk asing dikenakan tarif tinggi, harga produk tersebut naik di pasar domestik. Dalam jangka pendek, industri lokal memang mendapatkan perlindungan dari persaingan harga. Namun dalam jangka menengah hingga panjang, biaya tersebut berpindah ke konsumen. Studi dari berbagai lembaga independen, termasuk Peterson Institute for International Economics dan Brookings Institution, menunjukkan bahwa pada periode sebelumnya (2018–2020), tarif Trump justru menaikkan biaya hidup masyarakat Amerika dan membebani sektor retail dan pertanian. Kini, tahun 2025 menyaksikan pengulangan pola yang sama.
Konsumen Amerika merasakan dampaknya secara langsung. Harga barang elektronik melonjak, kendaraan buatan luar negeri menjadi lebih mahal, dan inflasi kembali mengintai. Ironisnya, banyak komponen dari produk “Made in America” pun berasal dari luar negeri. Sehingga tarif impor tidak hanya berdampak pada barang jadi, tetapi juga pada bahan baku dan komponen industri yang digunakan dalam proses produksi lokal. Akibatnya, produsen domestik pun menghadapi lonjakan biaya produksi yang bisa berujung pada pengurangan tenaga kerja atau relokasi pabrik ke negara dengan beban biaya lebih ringan.
Sementara itu, dalam lanskap ekonomi global yang makin terintegrasi, kebijakan tarif unilateral seperti ini memicu respons balasan dari negara mitra dagang. Tiongkok, Uni Eropa, dan Meksiko telah menyatakan keberatan atas tarif baru Trump dan mengancam akan membalas dengan tarif serupa terhadap produk Amerika, mulai dari kedelai, daging sapi, hingga kendaraan. Hal ini dapat menciptakan siklus balas dendam dagang (trade retaliation) yang merugikan seluruh pihak. Ekspor Amerika bisa menurun, petani dan produsen AS kehilangan pasar, dan rantai pasok global terganggu.
Dalam perspektif ekonomi makro, dampak tarif ini meluas pada pertumbuhan ekonomi nasional. Kenaikan harga akibat tarif dapat mendorong inflasi, mengikis daya beli masyarakat, dan menekan konsumsi rumah tangga—komponen utama dalam PDB Amerika. Di sisi lain, ekspektasi inflasi dapat memaksa Federal Reserve untuk mempertimbangkan kenaikan suku bunga, yang berisiko memperlambat investasi dan menghambat pemulihan ekonomi pasca pandemi. Dengan kata lain, proteksionisme ala Trump bisa menjadi bumerang yang memperlemah fondasi ekonomi domestik itu sendiri.
Bagi industri domestik, tarif memang memberikan efek protektif jangka pendek. Beberapa sektor seperti baja dan aluminium mendapat keuntungan langsung karena produk impor menjadi kurang kompetitif. Namun, industri yang mengandalkan ekspor atau rantai pasok global, seperti otomotif dan teknologi, mengalami tekanan. Perusahaan-perusahaan besar seperti Apple, Ford, dan Boeing harus menyesuaikan strategi produksi mereka, memindahkan pabrik, atau mengalihkan sumber bahan baku ke negara lain—yang tidak selalu efisien.
Di sisi lain, kelompok konsumen dan pelaku usaha kecil justru menjadi pihak paling rentan. Harga barang kebutuhan sehari-hari naik, termasuk pakaian, peralatan rumah tangga, dan perangkat digital. Kenaikan harga ini tidak selalu sebanding dengan peningkatan pendapatan, sehingga menimbulkan tekanan terhadap kelas menengah dan bawah. Untuk sektor UMKM yang menggantungkan diri pada pasokan produk luar negeri, tarif menjadi beban tambahan yang sulit ditanggung tanpa menaikkan harga jual.
Fenomena ini membentuk dilema klasik dalam kebijakan ekonomi: bagaimana menyeimbangkan perlindungan terhadap industri dalam negeri tanpa mengorbankan kesejahteraan konsumen? Apakah proteksionisme merupakan jalan terbaik untuk memperkuat ekonomi nasional, atau justru menciptakan inefisiensi dan memicu isolasi ekonomi? Jawaban atas pertanyaan ini tidak tunggal, tetapi dampak konkret di lapangan mengindikasikan bahwa biaya dari kebijakan tarif bisa jauh lebih besar daripada manfaatnya jika tidak diiringi dengan strategi jangka panjang yang komprehensif.
Penting untuk dicatat bahwa tantangan industri Amerika bukan hanya soal kompetisi harga, tetapi juga persoalan produktivitas, inovasi, dan ketimpangan akses teknologi. Kebijakan tarif tidak bisa menjadi solusi tunggal. Dibutuhkan investasi dalam pendidikan, pelatihan tenaga kerja, dan infrastruktur digital agar industri domestik mampu bersaing secara adil dan berkelanjutan. Selain itu, diplomasi ekonomi perlu dihidupkan kembali, bukan dengan ancaman, tetapi dengan kolaborasi, untuk menciptakan perdagangan yang lebih setara dan saling menguntungkan.
Tahun 2025 menjadi cermin bagi dunia tentang bagaimana kebijakan ekonomi yang berakar pada kepentingan politik jangka pendek dapat mengguncang stabilitas ekonomi global. Di tengah lanskap geopolitik yang makin kompleks, pendekatan unilateral seperti tarif Trump justru memperkeruh suasana. Bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, hal ini bisa menjadi pelajaran penting: bahwa ketahanan ekonomi tidak bisa dibangun dengan sekat proteksionisme semata, melainkan dengan memperkuat fondasi produksi, inovasi, dan konektivitas global yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, dilema antara melindungi industri dan menyejahterakan konsumen bukanlah pilihan hitam-putih. Dibutuhkan keseimbangan kebijakan yang berpihak pada efisiensi ekonomi dan keadilan sosial. Karena pada dasarnya, industri yang sehat dan konsumen yang sejahtera bukan dua kutub yang bertentangan—melainkan dua sisi dari satu mata uang ekonomi yang sehat. (San)
*) Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis; Universitas Dinamika
Editor : Iwan Iwe