Dulu, Strava adalah aplikasi pelacak jarak lari dan sepeda. Tapi kini, di 2025, Strava menjelma menjadi semacam badge of honor digital. Mengunggah hasil Strava di media sosial seperti Instagram, WhatsApp, dan X menjadi sebuah ritual. Ini bukan cuma soal olahraga, ini merupakan sebuah proses membangun citra diri seperti “Saya produktif, Saya aktif, Saya sehat”.
Strava merupakan aplikasi pelacak kebugaran dan olahraga yang muncul pada tahun 2009. Fungsi utama aplikasi ini untuk melacak hasil olahraga yang telah dilakukan dengan menggunakan bantuan dari GPS.
Terdapat fitur share to instagram dalam aplikasi ini membuat penggunanya tergoda. Saat story tersebut diunggah, mereka dibanjiri pujian dari para viewers dan muncullah ledakan dopamin di otak.
Respon seperti, “Gokil, produktif banget!” atau “Pace-nya gila!” atau bahkan hanya sekedar emot api saja sudah menimbulkan kepuasan tersendiri daripada endorfin yang timbul pasca lari.
Dengan adanya tren ini, mereka yang tidak punya waktu untuk olahraga karena mengerjakan pekerjaannya yang menumpuk merasa rendah diri. Mereka mulai merasa kurang aktif, kurang rajin dengan orang yang “seolah” berolahraga setiap pagi dengan semangat.
Pada akhirnya muncullah FOMO atau Fear of Missing Out, bukan FOMO konser atau mencoba makanan unik, tapi FOMO gaya hidup. Parahnya, beberapa orang mempunyai ide untuk membuka jasa joki Strava. Beberapa orang yang termakan FOMO dan tidak mempunyai waktu untuk olahraga memilih menggunakan jasa tersebut karena mereka takut tidak terlihat disiplin dan pasif di mata orang lain. Tidak ada yang salah dari tren ini, namun ini menjadi tanda bahwa tujuan utama olahraga mulai bergeser.
Saat jogging dijadikan konten, perhatian kita terpecah ke GPS, pace, dan momen story yang estetik. Kita tidak lagi menghiraukan tentang ketenangan, refleksi diri, dan mengatur nafas. Kita kehilangan nilai intrinsiknya, yang mana olahraga menjadi kebutuhan jiwa bukan untuk nilai impresi. Bagaimana menurutmu?
Editor : M Fakhrurrozi