PACITAN - Setiap tanggal 2 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Batik Nasional. Dari Pacitan, terdapat sebuah sentra batik yang cukup melegenda, yakni Batik Saji. Meski digempur arus modernisasi, batik ini tetap bertahan bahkan berhasil menembus pasar mancanegara.
Batik Saji berdiri di Desa Sukoharjo, Kecamatan Pacitan. Usaha ini dirintis sejak tahun 1960-an oleh seorang perempuan bernama Saji, yang dengan penuh kesabaran menjaga denyut tradisi di tengah gempuran zaman.
Perjalanan panjang Batik Saji tentu tidak selalu mulus. Pasang surut minat pembeli, harga batik yang fluktuatif, hingga persaingan dengan batik pabrikan sempat menjadi tantangan tersendiri. Namun justru dari ujian itulah, Batik Saji tumbuh menjadi salah satu sentra industri terbesar di kota yang dikenal dengan julukan 70-Mile Sea Paradise. Kini, usaha ini tidak hanya menghidupi keluarga pendiri, tetapi juga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar.
Yang menarik, proses pembuatan batik di sini masih sepenuhnya tradisional. Mulai dari penggunaan canting, malam, hingga pewarna alami tetap dipertahankan. Motif khas Pacitan, yakni buah pace atau mengkudu, menjadi ciri utama. Namun Batik Saji menghadirkan sentuhan berbeda dengan permainan warna yang lebih berani dan cemerlang, sehingga tampil lebih segar dan modern.
Baca Juga : Pastikan Aman dan Sehat, Penjamah Makanan MBG di Pacitan Dapat Pembekalan Higiene Sanitasi
Dalam sepekan, para perajin bisa menghasilkan sekitar 300 hingga 400 potong batik dengan beragam motif. Harganya bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung tingkat kerumitan dan kualitas bahan.
Pemilik sekaligus penerus Batik Saji, Danang Eko, menegaskan bahwa kunci bertahannya usaha ini adalah inovasi. Ratusan motif baru dengan corak unik terus dihadirkan, sehingga produk Batik Saji tetap memiliki tempat di hati pembeli. Tidak hanya di dalam negeri, batik khas Pacitan ini juga telah merambah ke mancanegara, di antaranya Swiss dan Belanda.
“Kami sadar, kalau hanya terpaku pada motif lama, pasar akan jenuh. Karena itu kami terus berinovasi tanpa meninggalkan ciri khas Batik Pacitan. Dengan begitu, pembeli punya pilihan yang lebih segar dan sesuai perkembangan zaman,” ujar Danang.
Baca Juga : Ratusan Penjamah Makanan di Pacitan Ikuti Bimtek Program Makan Bergizi Gratis
Ia menambahkan, keberlangsungan Batik Saji juga tak lepas dari peran masyarakat sekitar. “Batik ini bukan hanya soal ekonomi keluarga kami, tapi juga keberlangsungan hidup banyak orang di sini. Ada puluhan perajin yang menggantungkan hidupnya pada Batik Saji. Jadi, menjaga tradisi ini sekaligus menjaga kehidupan bersama,” imbuhnya.
Danang berharap, generasi muda Pacitan juga ikut melestarikan batik dengan cara mereka masing-masing. “Anak-anak muda sekarang bisa membantu lewat promosi digital, desain yang lebih modern, atau bahkan sekadar mengenakan batik dalam keseharian. Itu sudah menjadi bentuk dukungan luar biasa,” katanya.
“Batik Saji adalah bukti bahwa tradisi tidak harus kalah oleh zaman. Justru dengan sentuhan kreativitas, batik Pacitan mampu menjangkau dunia tanpa kehilangan jati dirinya,” pungkasnya. (Edwin Adji)
Editor : JTV Pacitan
 
 


















