Dalam dunia perbisnisan dan perpajakan, tentunya kita tidak asing dengan istilah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang dalam kegiatan usahanya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai dengan UU Nomor 42 Tahun 2009.
Tidak semua pengusaha dapat menjadi Pengusaha Kena Pajak. Terdapat kriteria tertentu yang menyebabkan pengusaha wajib dikukuhkan menjadi PKP yakni memiliki peredaran bruto dengan jumlah melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) tahun buku. Pengusaha yang tidak mencapai peredaran bruto dengan nominal tersebut dalam satu tahun buku dikategorikan sebagai pengusaha kecil.
Meski begitu, pengusaha yang belum memenuhi kriteria tersebut tetap dapat mengajukan diri sebagai PKP, dengan cara membuat permohonan ke KPP terdaftar.
Lantas, apa yang menyebabkan beberapa pengusaha tetap mengajukan diri menjadi PKP meskipun belum mencapai penerimaan bruto senilai Rp4,8 miliar dalam setahun?
Baca Juga : Program Pembebasan Pajak Daerah 2024 Dimulai
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengetahui bagaimana cara Pengusaha Kena Pajak menghitung PPN yang akan dibayarkan. Nominal PPN yang harus dibayarkan ke kas negara didapatkan dengan cara mengurangkan antara Pajak Keluaran (PK) dengan Pajak Masukan (PM). Pajak Keluaran atau VAT Out adalah PPN yang dikeluarkan oleh pengusaha ketika menjual barang dan/atau jasa kena pajak. Ketika Pengusaha Kena Pajak menjual barang dan/atau jasanya, selain mendapatkan penerimaan atas penjualan, pengusaha tersebut juga akan mendapatkan PPN dari pembeli sebesar 11% dari harga barang. Pajak inilah yang harus disetorkan ke kas negara oleh wajib pajak. Sedangkan pajak masukan atau VAT In ialah PPN yang dikenakan pada saat pengusaha membeli barang dan/atau jasa kena pajak. Jika memenuhi syarat, pajak masukan dapat mengurangi jumlah pajak keluaran atau PPN yang harus disetorkan ke kas negara oleh Pengusaha Kena Pajak.
Namun, ada beberapa pengecualian yang menyebabkan pajak masukan tidak dapat dikreditkan. Salah satunya telah dijabarkan pada UU No 42 Tahun 2009 pasal 9 ayat 8. Ayat ini menjelaskan bahwa pengkreditan pajak masukan atas perolehan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak tidak dapat dilakukan terhadap pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Imbas dari peraturan ini, pengusaha yang telah memiliki status sebagai PKP cenderung memilih untuk bertransaksi dengan pengusaha dengan status PKP pula. Hal ini dilakukan untuk meringankan beban PPN yang harus dibayarkan. Jika Pengusaha Kena Pajak membeli barang dan/atau jasa dari pengusaha non-PKP, pajak masukan atas pembelian barang tesebut tidak dapat menjadi pengurang bagi pajak keluaran, sehingga pajak yang harus dibayarkan menjadi lebih besar.
Baca Juga : Masyarakat Pilih Keberlanjutan, Tarif PPN Lanjut Naik Jadi 12 Persen Tahun Depan
Adanya kecenderungan ini mempersempit peluang kerja sama bisnis antara pengusaha kecil dengan Pengusaha Kena Pajak. Selain itu, pengusaha kecil juga kesulitan untuk menjalin kontrak dengan Bendahara Pemerintah karena bendahara pemerintah berkewajiban memungut PPN dari lawan transaksinya.
Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak juga dinilai memiliki pencatatan administrasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan pengusaha non-PKP. Ketika telah dikukuhkan menjadi PKP, pengusaha wajib membuat faktur pajak keluaran setiap terjadi penyerahan barang dan/atau jasa atau ketika menerima pembayaran dari tiap transaksi yang dilakukan. Selain itu, pengusaha juga bisa mengetahui setiap data transaksi atas pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan usahanya, seperti pembelian barang modal, dengan memanfaatkan fitur ’Prepopulated Pajak Masukan’ pada aplikasi e-Faktur. Dua hal ini dapat membantu pengusaha dalam mengadministrasikan setiap kegiatan usahanya dengan lebih rinci dan akurat.
Namun, perlu diingat. Selain manfaat yang bisa diperoleh setelah menjadi PKP, pengusaha juga harus mengetahui kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan ketika telah dikukuhkan menjadi PKP serta konsekuensi yang ditanggung jika tidak menjalankannya.
Baca Juga : Bayar PBB Bisa Via E-commerce,Komisi B DPRD Kota Surabaya Apresiasi
Setelah wajib pajak berhasil dikukuhkan menjadi PKP, wajib pajak tersebut harus menjalankan beberapa kewajiban yaitu melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dengan benar dan tepat waktu. Wajib pajak juga harus membuat faktur pajak keluaran atas setiap penyerahan barang dan/atau jasa dengan benar dan lengkap.
Kebenaran dan ketepatan harus diutamakan dalam menjalankan kewajiban perpajakan bagi Pengusaha Kena Pajak. Karena jika tidak, akan ada sanksi yang menimpa wajib pajak tersebut. Contohnya, ketika terlambat menerbitkan faktur pajak keluaran, wajib pajak akan dikenai sanksi administrasi sebesar 1% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sesuai dengan ketentuan pada Pasal 14 ayat (4) UU No. 06/2023, perubahan atas UU KUP.
Selain itu, terdapat kewajiban melaporkan SPT masa PPN dengan batas waktu akhir bulan setelah berakhirnya masa pajak. Jika dilanggar, wajib pajak akan dikenakan denda senilai Rp500.000,00. Seringkali wajib pajak tidak melaporkan SPT masa PPN dengan alasan tidak ada kegatan usaha. Padahal, kewajiban ini tetap melekat pada wajib pajak dengan status PKP, terlepas ada kegiatan usaha atau tidak.
Baca Juga : Warga Inginkan Edi Tarmidi Widjaya Bacaleg PDI Perjuangan Gratiskan Pajak PBB
Dengan mengetahui keuntungan yang diperoleh ketika telah menjadi Pengusaha Kena Pajak beserta kewajiban yang menyertainya, pengusaha diimbau untuk lebih cermat dan melihat kembali kesanggupan dan urgensi untuk menjadi PKP. Karena jika tidak, alih-alih membawa keuntungan, status Pengusaha Kena Pajak alias PKP dapat menjadi beban tersendiri bagi pengusaha kecil atau yang baru merintis. (*)
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.