Belakangan ini, rasanya tidak lengkap scroll media sosial tanpa menemukan konten atau diskusi tentang kesehatan mental. Menariknya, ada satu generasi yang paling vokal dan kerap jadi pusat perhatian soal ini – siapa lagi kalau bukan Gen Z.
Sebuah survei menunjukkan bahwa 34% Gen Z di Indonesia saat ini sedang bergulat dengan masalah kesehatan mental (Deloitte Global Survey, 2023). Fenomena ini jelas terlihat di media sosial, di mana diskusi tentang kesehatan mental sangat dominan. Di antara berbagai generasi, Gen Z muncul sebagai kelompok yang paling vokal dan aktif dalam membuka dialog tentang kesehatan mental.
Generasi ini dari kecil sudah terbiasa dengan konsep self-care dan wellbeing. Bahkan, smartphone mereka penuh dengan aplikasi dan kutipan seputar kesehatan mental. Tapi dengan kemudahan akses ini, apakah mereka menjadi lebih bahagia? Atau malah semakin sering merasa cemas tentang kondisi mental mereka?
Gen Z, disebut sebagai generasi paling terdidik, paling terhubung, dan paling sadar akan isu-isu sosial. Namun ironisnya, mereka juga yang paling rentan terhadap masalah kesehatan mental.
Di media sosial, sering kali terlihat influencer muda yang tampak ceria dan rajin berbagi konten tentang self-love. Followers-nya mencapai jutaan dan kerap diundang sebagai pembicara motivasi. Namun, di balik layar, banyak dari mereka mengakui bahwa mereka sering berjuang dengan gangguan kecemasan dan mengalami burnout, bahkan menolak untuk mencari bantuan karena takut dianggap sebagai beban.
Gen Z memang luar biasa. Mereka membicarakan trauma, trigger, dan self-care dengan lancar seolah membahas menu makan siang. Tapi saat ditanya, "Kapan terakhir kali kamu benar-benar bahagia?" banyak dari mereka hanya terdiam, bingung, atau malah tertawa sarkastis. Mungkin bagi mereka, kebahagiaan telah menjadi konsep yang terlalu abstrak.
Namun di balik semua kritik yang sering dilontarkan, ada sisi yang sering terlewat. Terlalu mudah bagi banyak orang untuk menilai tanpa mau mendengar cerita lengkap mereka. Gen Z tumbuh di dunia yang, bisa dibilang, kacau balau. Mereka menghadapi krisis ekonomi, tekanan akademik, persaingan kerja yang ketat, ekspektasi sosial yang tinggi, dan ketidakpastian masa depan—'hadiah' dari generasi sebelumnya.
Lihat saja faktanya: dari mereka yang baru lulus kuliah, hampir 14% masih menganggur. Biaya pendidikan terus meningkat, dengan rata-rata kuliah S1 mencapai Rp 40-100 juta per tahun di universitas negeri. Mereka juga dihadapkan pada digitalisasi yang menuntut kemampuan adaptasi, karena 65% pekerjaan masa depan bahkan belum ada saat ini (World Economic Forum, 2020). Selain itu, beban utang negara yang terus membengkak hingga Rp 7.855,53 triliun (Juli 2023, Nota Keuangan dan RAPBN, Komisi XI DPR RI, 2024) akan menjadi tanggungan mereka di masa depan. Tidak heran jika tingkat stres dan kecemasan di kalangan Gen Z meningkat drastis.
Namun, dari tantangan-tantangan itu pula muncul kekuatan mereka. Gen Z justru memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya kesehatan mental dan lebih terbuka membicarakan masalah tersebut. Mereka berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya yang sering memilih untuk memendam masalah. Generasi ini lebih peka mengenali tanda-tanda jika kondisi mental mereka terganggu, dan tidak ragu mencari bantuan profesional jika diperlukan.
Slogan "It's okay not to be okay" seakan menjadi moto mereka untuk saling mendukung. Ini menunjukkan bahwa Gen Z memiliki empati tinggi terkait kesehatan mental. Mereka tidak mudah menghakimi dan lebih suportif terhadap teman-teman yang sedang berjuang. Berbeda dengan zaman dulu, ketika masalah kesehatan mental masih dianggap tabu.
Penting untuk diingat bahwa setiap generasi menghadapi tantangan tersendiri. Menyebut Gen Z sebagai generasi yang 'lemah' atau mengkritik mereka yang kerap mengaitkan segala hal dengan kesehatan mental bukanlah pendekatan yang tepat. Kita perlu mendengar dengan empati dan mencoba memahami dari sudut pandang mereka.
Pada akhirnya, kesehatan mental bukanlah masalah satu generasi saja. Ini adalah tantangan yang membutuhkan perhatian dan aksi dari semua pihak. Dengan empati dan kepedulian yang tulus, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat secara mental bagi semua orang, terlepas dari generasinya. (*)