Kasus kekerasan terhadap anak, khususnya bullying, terus menunjukkan peningkatan yang signifikan di Surabaya. Anak-anak yang kembali ke sekolah setelah pandemi menghadapi tantangan dalam penyesuaian sosial, yang memperburuk situasi bullying. Parahnya, insiden ini bahkan memicu tindakan ekstrem seperti percobaan bunuh diri, yang menyoroti dampak mendalam terhadap kesehatan mental mereka.
Komisi Nasional Perlindungan Anak melaporkan lebih dari 50 kasus kekerasan anak di Surabaya sejak Januari 2022. "Data yang kami miliki menunjukkan pelaporan 6 hingga 7 kasus setiap bulan," ujar Ketua Komnas PA Surabaya, Syaiful Bachri.
Syaiful menjelaskan bahwa dari 7 kasus tersebut, sebagian besar adalah kasus bullying, dengan sisanya terkait penelantaran anak dan pelecehan seksual. Kasus ini terjadi di berbagai jenjang sekolah, baik negeri maupun swasta, mulai dari SD, SMP, hingga SMA di Surabaya. "Beberapa laporan bahkan menyebutkan adanya kasus bullying yang berujung pada percobaan bunuh diri," tambahnya.
Menurutnya, salah satu penyebab utama adalah dampak psikologis setelah masa pandemi Covid-19. Anak-anak yang terbiasa di rumah menghadapi kesulitan beradaptasi kembali di lingkungan sekolah. Tekanan akademik yang tinggi semakin memperburuk kondisi mereka. "Kasus siswi yang melompat dari gedung sekolah SMPN di Surabaya harus menjadi pengingat pentingnya pendampingan orang tua dalam mempersiapkan mental anak-anak mereka," ujarnya. Akibatnya, anak-anak yang belum siap ini rentan menjadi korban atau pelaku bullying.
Baca Juga : Apa Itu Bullying? Dampak dan Bentuk Serta Cara Antisipasinya
Sebagai kota dengan predikat "Kota Layak Anak" (KLA), Syaiful menekankan pentingnya peran semua pihak, termasuk orang tua, sekolah, dan masyarakat, untuk mencegah dan menangani kasus bullying. Kolaborasi diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan ramah bagi anak-anak.
Meskipun bullying sering terlihat seperti candaan biasa, efeknya bisa sangat serius. Ejekan verbal yang dianggap sepele dapat menyebabkan luka emosional yang mendalam, dengan dampak jangka panjang. Syaiful menyoroti bahwa sekolah dan orang tua sering kali menganggap teguran sudah cukup untuk menghentikan perilaku tersebut, padahal bullying memiliki dampak yang jauh lebih serius.
Dampak bullying tak hanya terbatas pada kesehatan mental; ia juga memengaruhi prestasi akademik hingga menyebabkan putus sekolah. Untuk mengurangi kasus bullying yang semakin banyak, Syaiful menyarankan agar sekolah memiliki program pencegahan, intervensi, serta sosialisasi yang efektif. Sinergi antara sekolah dan orang tua sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.
Baca Juga : Aplikasi Keren Cegah Bully di Sekolah
Orang tua perlu mendapatkan akses informasi terkait perkembangan anak mereka di sekolah. Sekolah dapat mempertimbangkan pembentukan divisi khusus yang menangani komunikasi dengan orang tua, seperti hotline atau situs web interaktif yang bisa dihubungi kapan saja.
Selain itu, komunikasi yang baik antara orang tua dan anak di rumah perlu ditingkatkan. Pola asuh yang mendukung anak untuk menyuarakan isi pikiran dan perasaannya dapat membantu mendeteksi dini adanya masalah bullying. Kerjasama yang erat antara sekolah dan orang tua akan memberikan dukungan menyeluruh bagi anak-anak. (*)
*) Wahyuni Cintya Dewi, Mahasiswi Universitas Negeri Surabaya
Baca Juga : Cegah Bullying di Sekolah, Pemkot Surabaya Ciptakan Game Kebersamaan