Batik bukan hanya kain bermotif indah akan tetapi batik adalah simbol identitas, cerita leluhur, dan medium komunikasi budaya yang telah melewati lintas generasi. Namun di tengah arus globalisasi dan budaya pop asing yang membanjiri ruang digital, muncul pertanyaan yang krusial, apakah batik masih relevan bagi Generasi Z, atau justru mulai ditinggalkan?
Dalam beberapa waktu terakhir, fenomena menarik mulai tampak di ruang-ruang publik: generasi Z tampil percaya diri mengenakan batik dalam keseharian mereka. Tak lagi identik dengan acara formal atau upacara adat, kini batik hadir dalam bentuk yang lebih kasual dan trendi menjadi bagian dari gaya hidup anak muda masa kini.
Dari pusat perbelanjaan, café, hingga lingkungan kampus, batik semakin sering terlihat dipadupadankan secara kreatif. Generasi muda memadukan batik dengan kemeja oversized, celana jeans, rok plisket, hingga sneakers, menciptakan tampilan yang segar namun tetap berakar pada budaya lokal. Tak hanya itu, batik juga tampil dalam bentuk aksesori seperti hijab, totebag, hingga tali kacamata, menunjukkan betapa fleksibelnya kain tradisional ini dalam dunia fashion modern.
Fenomena ini menunjukkan bahwa batik tak lagi semata simbol warisan budaya, melainkan telah berevolusi menjadi elemen penting dalam fashion kontemporer. Di tangan generasi muda, batik menemukan wajah barunya lebih dinamis, inklusif, dan penuh ekspresi.
Dengan menjadikan batik bagian dari gaya sehari-hari, generasi muda secara tidak langsung berperan sebagai agen perubahan (agent of change) dalam pelestarian budaya. Mereka tidak hanya menjaga eksistensi batik, tetapi juga menghidupkannya kembali melalui interpretasi yang relevan dengan zaman.
Batik tidak lagi hadir di acara adat, resepsi pernikahan, festival dan acara formal lainnya melainkan kini mulai tampil di platform digital misalnya TikTok, Instagram, dan runway busana lokal. Banyak desainer muda menghadirkan batik dalam bentuk yang beragam menjadikan batik bukan sekadar pakaian, tapi pernyataan identitas yang unik, otentik, dan lokal. Seperti Iwan Tirta maestro batik Indonesia. Sejak era 1970-an, ia sudah memperkenalkan batik ke dunia internasional. Anne Avantie disainer asal semarang tersebut identik dengan kebaya. Didiet Maulana sangat populer di kalangan generasi muda melalui label IKAT Indonesia dan masih banyak yang lain
Bagaimana kemudian desainer muda dan brand lokal kini menghadirkan batik dalam bentuk-bentuk baru misalnya hoodie batik, crop top bermotif batik kontemporer, bahkan sepatu dan tas dengan aksen batik yang dipadukan gaya streetwear. Batik tak lagi kaku, tapi lentur bisa dibawa ke ruang-ruang gaya hidup anak muda, dari kafe hingga panggung musik adalah sebuah tantangan.
Dilansir diberbagai media massa dan media digital aktifitas peringatan hari batik 1 Oktober 2025 menampilkan parade batik, lomba fashion show batik, workshop membatik, tolkshow, lomba poster batik, lomba foto batik, maupun pameran batik diberbagai entitas, hal ini sangat positif dalam membumikan batik sebagai budaya nusantara.
Digitalisasi Batik
Sebagai generasi yang tumbuh dalam dunia serba cepat, visual, dan digital, Gen Z sering kali dinilai jauh dari budaya tradisional. Banyak yang beranggapan mereka lebih akrab dengan K-Pop daripada kerajinan lokal, lebih mengenal logo streetwear global daripada motif parang atau kawung. Batik pun tak jarang hanya menjadi “seragam wajib” saat hari tertentu di sekolah atau kantor dipakai karena kewajiban, bukan karena kesadaran. Namun benarkah mereka telah meninggalkan batik? Jawabannya tidak sesederhana itu. Justru dalam beberapa tahun terakhir, kita mulai menyaksikan tanda-tanda munculnya kesadaran berbatik di tangan Gen Z. Mereka tidak lagi memandang batik sebatas pakaian formal atau atribut masa lalu, tetapi mulai melihatnya sebagai bahan ekspresi kreatif dan personal.
Tak hanya di dunia nyata, batik juga mulai “hidup kembali” di ruang digital. Di TikTok, kita bisa menemukan konten bertema batik, tutorial mix & match batik untuk nongkrong, atau bahkan cerita tentang filosofi motif batik dari berbagai daerah. Generasi Z menunjukkan bahwa mereka bisa menyukai batik asal disajikan dengan cara yang sesuai dengan dunia mereka: visual, kontekstual, dan otentik. Untuk meningkatnya kesadaran Gen Z terhadap isu keberlanjutan dan produk lokal. Batik, dengan prosesnya yang rumit dan berbasis tangan, merupakan alternatif yang ramah lingkungan, mendukung pengrajin lokal, dan tetap stylish harus didukung oleh kebijakan pemerintah dalam hal ini melalui program kementrian perindustrian, kemntrian koperasi agar produk-produk batik karya anak muda terwadahi, Kemnterian budaya maupun kementrian pendidikan dasar menengah serta kementrian pendidikan tinggi sebagai wadah sosialisasi dan edukasi.
Meski demikian, kita tetap harus jujur bahwa jalan menuju batik sebagai bagian dari gaya hidup Gen Z tidak semudah membalikkan tangan. Karena gen z belum memahami makna di balik motif batik, belum terhubung secara emosional dengan nilai budaya yang diwakilinya. Ini bukan sepenuhnya salah mereka. Mungkin justru generasi sebelumnya yang gagal menjembatani warisan ini dengan cara yang segar dan relevan.
Alih-alih hanya mewajibkan batik dipakai saat upacara, sudah saatnya kita membuka ruang partisipasi kreatif lomba desain batik digital, workshop membatik di sekolah, kolaborasi antara pengrajin dengan content creator muda, hingga menjadikan batik sebagai bagian dari kurikulum yang hidup dan menyenangkan. Dari satu sisi, batik tetap menjadi simbol identitas nasional. Ia dikenakan dalam perayaan formal, dijadikan seragam di sekolah dan instansi, dan bahkan diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia. Namun dari sisi lain, bagi banyak Gen Z, batik terkesan usang, kaku, dan kehilangan daya tarik emosional. Fungsi sosialnya sebagai simbol status dan budaya makin kabur dalam lanskap budaya digital yang serba cepat dan instan.
Komunikasi Budaya
Hari ini secara objektif dikatakan bahwa batik belum menjadi media komunikasi budaya yang efektif, mengapa, karena batik tidak sekadar bahasa nonverbal. Dalam hal ini belum mampu dimaknai kandungan pesan tentang nilai, filosofi hidup, identitas etnik, bahkan status sosial tanpa perlu kata-kata. Motif parang, misalnya, bukan sekadar hiasan, melainkan simbol kekuatan dan kepemimpinan. Motif kawung menyiratkan kesucian dan keadilan. Bahkan, warna dan cara pemakaian batik dalam adat tradisional pun mengandung aturan sosial tertentu.
Masalahnya, dalam konteks masyarakat urban dan generasi digital, apakah makna simbolik batik telah tersampaikan secara efektif. Komunikasi budaya bersifat kontekstual. Artinya, batik merupakan sebuah simbol hanya bisa diterima dan dimaknai jika dikomunikasikan melalui saluran dan cara yang sesuai dengan audiensnya.
Generasi Z hidup di dunia berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka tumbuh dalam ekosistem digital yang serba visual, partisipatif, dan terhubung lintas budaya. Dalam ruang ini, batik kehilangan daya komunikasinya jika tetap disampaikan melalui pendekatan lama yang satu arah dan formalistis
Dalam konteks proses komunikasi budaya yang dinamis Gen Z tidak hanya sebagai penerima pesan budaya, tetapi juga menjadi produsen makna baru. Mereka mengkreasi konten, menyusun narasi baru, dan membentuk pemahaman personal terhadap batik sebagai bagian dari diri kehidupan Gen Z. Gen Z bukan sekadar “melestarikan”, tapi menghidupkan kembali batik sebagai medium ekspresi diri yang selaras dengan nilai zaman dengan prinsip keberlanjutan, lokalitas, kreativitas, dan kebebasan berekspresi.
Meski demikian, tidak sedikit dari Gen Z yang masih belum terkoneksi dengan makna batik secara mendalam. Bagi sebagian besar, batik tetap hadir sebagai simbol yang kehilangan konteks, dipakai karena keharusan, bukan karena pemahaman. Hal Ini menunjukkan adanya terdapat kesenjangan komunikasi budaya antar generasi. Generasi lama cenderung menyampaikan batik secara normatif: sebagai warisan yang harus dihormati. Padahal, komunikasi budaya yang efektif menuntut pendekatan yang dialogis dan adaptif. Jika makna batik ingin hidup dalam dunia Gen Z, maka pendekatan komunikasinya harus berubah. Batik harus hadir sebagai cerita yang bisa dikaitkan dengan nilai dan cara berpikir generasi muda. Bukan sekadar diajarkan, tapi diciptakan ulang bersama dan setara.
Agar batik tetap relevan, perlu strategi komunikasi budaya yang aktual dan kontekstual. Beberapa pendekatan mialnya digitalisasi batik melalui konten media sosial, filter augmented reality, hingga desain digital serta memberi ruang partisipatif agar Gen Z dapat mencipta, bukan sekadar memakai. Selamat hari batik nasional 2 Oktober 2025 semoga batik semakin membumi dari generasi ke genrasi seantero ibu pertiwi.
*) Penulis adalah Dosen Komunikasi Fisip Ubhara Surabaya
Editor : Iwan Iwe



















