SURABAYA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 115/PUU-XXII/2024 dan 105/PUU-XXII/2024 menjadi penegasan penting bagi kebebasan berpendapat di Indonesia.
MK menegaskan bahwa seseorang tidak bisa dipidana hanya karena mengkritik pemerintah atau membuat kegaduhan di media sosial. Kritik yang bertujuan untuk kepentingan umum kini mendapat perlindungan hukum yang lebih jelas.
UU ITE tidak lagi bisa digunakan sebagai alat untuk membungkam suara publik yang menyampaikan ketidakpuasan atau tuntutan secara terbuka. Dengan putusan ini, ruang maya tetap berada dalam kerangka demokratis, bukan di bawah bayang-bayang kriminalisasi.
Selain itu, MK menilai bahwa bentuk kerusuhan dan keonaran di dunia maya sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, mengingat teknologi digital yang terus berkembang pesat.
Baca Juga : Camat Asemrowo Laporkan Berita Hoax ke Polda Jatim Terkait Video Viral
Penafsiran Baru terhadap 'Orang Lain' dan Implikasinya
MK juga menafsirkan ulang frasa "orang lain" dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE.
Lembaga pemerintah, institusi publik, jabatan, atau profesi kini tidak lagi termasuk dalam kategori tersebut. Dengan kata lain, kritik terhadap lembaga atau jabatan publik tidak bisa dijerat dengan pasal penghinaan atau pencemaran nama baik, asalkan kritik itu berorientasi pada kepentingan umum.
Baca Juga : IPW Harap Hakim Vonis Bebas Usman Wibisono
Penegasan ini sangat penting dalam mendorong budaya pengawasan publik. Masyarakat didorong untuk terus terlibat aktif dalam proses demokrasi tanpa harus takut akan konsekuensi hukum yang tidak jelas.
Sistem Informasi dalam Konteks Keterbukaan dan Demokrasi
Dalam ranah sistem informasi, putusan MK ini memperluas pemahaman bahwa teknologi informasi bukan hanya alat bantu administrasi, tetapi juga ruang interaksi sosial yang penuh makna.
Baca Juga : Perkara Viral Tukar Pasangan Gus Samsudin Dilimpahkan ke Kejari Blitar
Sistem informasi di institusi pendidikan, pemerintahan, dan sektor swasta harus dibangun dengan prinsip transparansi, aksesibilitas, dan akuntabilitas. Sistem ini harus dirancang untuk memfasilitasi partisipasi, menerima masukan, dan membuka ruang bagi dialog yang sehat, selaras dengan nilai-nilai demokrasi.
Literasi Digital dan Tanggung Jawab Sosial
Kebebasan yang diakui oleh hukum tetap harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial. Sistem informasi perlu didukung oleh kebijakan moderasi konten yang adil serta edukasi literasi digital yang terus menerus.
Pengguna media sosial, termasuk kalangan muda di institusi pendidikan, harus paham bahwa kritik bukanlah ujaran kebencian pengelola sistem informasi tidak hanya menjaga keutuhan data, tetapi juga menciptakan lingkungan digital yang sehat, aman, dan beretika. Ini adalah pekerjaan kolaboratif antara teknologi, kebijakan, dan kesadaran pengguna.
Peran Institusi Pendidikan sebagai Ruang Tumbuh Demokrasi Digital
Institusi pendidikan memegang peran penting sebagai ruang untuk tumbuhnya budaya berpikir kritis dan bertanggung jawab. Media sosial dan platform digital lainnya bukan sekadar tempat berbagi informasi, tetapi juga ladang pembelajaran sosial. Kritik yang dibangun dengan data dan niat baik merupakan bagian dari proses pendidikan itu sendiri.
Maka, sistem informasi pendidikan harus terbuka terhadap umpan balik. Tidak perlu takut terhadap kritik, selama kritik itu membawa harapan dan perbaikan. Ruang-ruang digital internal seperti forum kampus, sistem aduan, atau portal informasi publik harus dioptimalkan untuk mendorong partisipasi aktif tanpa rasa takut akan kriminalisasi.
Menjaga Keseimbangan antara Regulasi dan Kebebasan
Putusan MK ini mengingatkan kita bahwa hukum harus mampu berjalan seiring dengan semangat zaman. Ketika masyarakat semakin aktif di dunia digital, ruang hukum harus hadir untuk melindungi, bukan membungkam. Kebebasan berekspresi tidak berarti bebas tanpa batas, namun batas tersebut harus jelas dan tidak digunakan semena-mena.
Sistem informasi memiliki posisi strategis untuk menjaga keseimbangan ini. Dengan struktur teknologi yang adaptif dan kebijakan informasi yang berpihak pada transparansi, sistem informasi dapat menjadi pilar penting dalam menopang demokrasi digital yang matang dan bertanggung jawab.
Teknologi yang Berpihak pada Demokrasi
Teknologi dan hukum seharusnya saling memperkuat dalam menjaga kualitas demokrasi. Putusan Mahkamah Konstitusi memberi sinyal bahwa kritik adalah bagian dari kehidupan bernegara yang tidak bisa dilarang begitu saja.
Peran sistem informasi bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menjaga agar ruang digital tetap menjadi milik bersama yang aman untuk berpikir, menyampaikan pendapat, dan berbagi aspirasi.
*) Supangat, Ph.D., ITIL., COBIT., CLA., CISA, Direktur Direktorat Sistem Informasi (DSI) Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 (YPTA) Surabaya
Editor : M Fakhrurrozi