MAKKAH - Menjelang puncak ibadah haji pada 5 Juni 2025, petugas haji Indonesia menyiapkan strategi khusus untuk menghadapi potensi kepadatan ekstrem di Terowongan Mina. Sistem evakuasi estafet kembali diandalkan untuk menyelamatkan jemaah yang kelelahan atau sakit saat jalur padat dan ambulans sulit bergerak.
Kepala Satuan Operasional Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna), Kolonel Laut Harun Ar Rasyid, menjelaskan bahwa padatnya jemaah di Terowongan Mina membuat evakuasi langsung menggunakan ambulans menjadi tidak selalu memungkinkan.
“Ambulans memang ada di beberapa titik, tapi karena padatnya jemaah, ambulans tidak selalu bisa langsung bergerak membawa pasien ke rumah sakit. Dirawat di tempat dulu,” kata Harun saat orientasi lapangan bersama tim PPIH Daker Madinah, Rabu (28/5) dini hari.
Untuk itu, tim PPIH akan menggunakan sistem estafet yang terbukti ampuh pada penyelenggaraan haji tahun-tahun sebelumnya. Jika ada jemaah yang jatuh sakit atau pingsan, pertolongan pertama diberikan di pos ambulans terdekat. Setelah kondisi lebih stabil, jemaah akan dievakuasi secara bertahap ke fasilitas kesehatan lanjutan.
Harun menambahkan, beberapa terowongan di Mina memiliki panjang minimal 1 kilometer. Setelah keluar dari terowongan, ada area terbuka dan jalur evakuasi yang memungkinkan ambulans bergerak lebih leluasa.
"Selain ada ambulans dari teman-teman kesehatan, juga ada pelayanan kesehatan dari Kementerian Haji Arab Saudi," ujarnya.
Dalam orientasi lapangan itu, tim juga menyisir lantai 3 Mina, yang akan menjadi area kerja PPIH Daker Madinah. Petugas berjalan kaki dari tenda jemaah, melewati terowongan, hingga ke Jamarat, lokasi pelemparan jumrah.
"Supaya tahu seperti apa medan sesungguhnya. Jadi, begitu ada jemaah haji kita yang membutuhkan pertolongan atau terlepas dari rombongannya, kita bisa langsung memberikan pertolongan dan bantuan," tegas Harun.
Ia juga menunjukkan titik-titik penting di sepanjang jalur Mina, seperti pos Ad Hoc, Mobile Crisis Rescue (MCR), dan jalur-jalur kritis yang harus dihafal oleh petugas.
“Mulai dari pos Ad Hoc, MCR, hingga jalur-jalur kritis yang harus kita jaga bersama. Semua harus sudah hafal di luar kepala,” katanya.
Kepadatan besar diperkirakan terjadi pada 10 Dzulhijjah atau 6 Juni saat pelemparan Jumrah Aqabah. Harun menekankan pentingnya kesiapan menyeluruh dari semua petugas karena berkaitan dengan keselamatan nyawa Jemaah.
Ia berharap sistem evakuasi estafet dapat mengurangi kemacetan saat kondisi darurat dan memastikan ibadah jemaah berjalan lancar.
“Dengan adanya orientasi ini, kami harapkan petugas bisa mengantisipasi dan memitigasi untuk kegiatan-kegiatan yang akan kita laksanakan nanti," ujar Harun.
Tujuan akhir dari seluruh strategi ini, kata Harun, adalah agar jemaah haji Indonesia bisa menunaikan puncak ibadah dengan selamat, lancar, dan penuh kekhusyukan. (*)
Editor : A. Ramadhan