SURABAYA - Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi sorotan utama dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya, Rabu (7/5/2025). Seminar bertajuk “Modernisasi Penguatan Penegakan Hukum POLRI dalam RUU KUHAP” ini menghadirkan narasumber para guru besar dan pakar hukum dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Timur.
Mereka adalah Guru Besar Hukum Administrasi, Universitas Airlangga, Prof. Dr. Sri Winarni, S.H., M.H., Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Prof. Suparto Wijoyo, S.H., M.Hum., Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trunojoyo, Prof. Deni Setya Bagus Yuherawan, S.H., M.S., dan Pakar Hukum Pidana Universitas Bhayangkara Surabaya, Dr. M. Sholehuddin, S.H., M.H.
Acara yang berlangsung secara hybrid ini dibuka oleh Rektor Ubhara Surabaya, Irjen Pol (Purn) Drs. Anton Setiadji, S.H., M.H., yang menekankan pentingnya sumbangsih akademisi dalam merespons perubahan besar dalam sistem peradilan pidana nasional.
“Sebagai akademisi, kita berusaha merefleksikan kewenangan dan tugas-tugas pokok dari kepolisian. Karena banyak Undang Undang yang berkaitan dengan Polri. Sehingga kita dari akademisi memberi masukan dan kritikan," kata Anton
Baca Juga : Autopsi Bayi Meninggal Di Tulungagung Ditemukan Adanya Kekerasan
Rektor juga mengingatkan pentingnya mekanisme implementasi yang jelas agar RUU KUHAP tidak menambah kerumitan bagi masyarakat yang berhadapan dengan hukum.
Dalam pemaparannya Prof. Dr. Deni Satya Bagus Yuherawan, Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Trunojoyo Madura, menyampaikan kekhawatirannya terhadap konsep-konsep baru dalam RUU KUHAP yang dinilai berpotensi melemahkan institusi Polri dan Kejaksaan.
Baca Juga : Polisi Tangkap Pelaku Perdagangan Orang di Malang
“RUU ini harus dibahas secara selektif dan kritis. Pasal-pasal yang tidak esensial sebaiknya dihapus demi menjaga sistem hukum yang kuat dan efektif,” tegasnya.
Prof. Dr. Sri Winarsi, Guru Besar Hukum Administrasi dari Universitas Airlangga, mengkritisi munculnya istilah “penyidik tertentu” dan “penuntut tertentu” dalam RUU yang dinilainya berisiko menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum. Ia mendorong sistem check and balance yang lebih tegas demi menjamin profesionalisme dan akuntabilitas.
Baca Juga : Marak Pemalsuan Batik Khas Tulungagung, Pemilik Hak Paten Ancam Seret Pemalsu Ke Jalur Hukum
Dari Universitas Bhayangkara Surabaya, Dr. M. Sholehuddin, pakar hukum pidana, menggarisbawahi pentingnya reformasi penegakan hukum melalui pendekatan kebijakan hukum pidana (penal law enforcement policy).
Ia menekankan bahwa modernisasi Polri tidak hanya soal wewenang, tapi juga soal transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Sementara itu, Prof. Dr. Suparto Wijoyo, Guru Besar sekaligus Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, menegaskan bahwa posisi Polri sebagai penyidik utama harus tetap dipertahankan dalam sistem peradilan pidana. Ia mendorong pemanfaatan teknologi dan peningkatan sumber daya manusia sebagai bagian dari modernisasi yang berakar pada nilai-nilai profesional, akuntabel, dan humanis.
Baca Juga : Anggota Polisi Tulungagung Dipecat Karena Kasus Penipuan
Seminar ini menjadi wadah strategis bagi akademisi hukum dalam merumuskan langkah konkret memperkuat sistem penegakan hukum nasional yang profesional, adil, dan selaras dengan kebutuhan zaman. Para narasumber sepakat bahwa keberhasilan reformasi hukum pidana sangat bergantung pada harmonisasi kewenangan antar lembaga serta penguatan etika dalam setiap proses peradilan.(*)
Editor : A. Ramadhan