MAGETAN - Di tengah ramainya kendaraan bermotor dan berkembangnya layanan transportasi modern, nasib para tukang becak di Magetan kian terhimpit. Sepinya penumpang dan pasar yang kurang ramai membuat sebagian besar tukang becak harus berjuang ekstra keras untuk mengais rezeki demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dulu, becak pernah menjadi salah satu alat transportasi utama di Magetan. Namun, kini keberadaannya semakin terpinggirkan. Masyarakat lebih banyak beralih menggunakan kendaraan pribadi atau memanfaatkan layanan ojek online yang dinilai lebih cepat dan praktis. Akibatnya, jumlah penumpang becak semakin berkurang drastis dari tahun ke tahun.
Hal ini dialami oleh Suprapto, salah satu tukang becak di kawasan Pasar Baru Magetan. Ia mengaku pendapatannya kini tak menentu. Dalam sehari, terkadang ia sama sekali tidak mendapatkan penumpang.
“Kadang sehari nggak ada penumpang. Paling banyak ya cuma dua sampai tiga orang. Tarifnya sepuluh ribu dari Pasar Baru ke Pasar Sayur,” ungkap Suprapto saat ditemui, Senin (9/9).
Minimnya penghasilan membuat Suprapto dan rekan-rekannya harus bertahan dalam kondisi serba sulit. Padahal, becak memiliki keunikan tersendiri sebagai transportasi ramah lingkungan sekaligus simbol khas kota lama Magetan.
Tak hanya kalah oleh modernisasi, sepinya pasar tradisional juga ikut memperburuk keadaan. Jumlah pengunjung pasar yang menurun secara otomatis mengurangi peluang tukang becak untuk mendapatkan penumpang.
Kondisi tukang becak di Magetan menjadi gambaran nyata bagaimana transportasi tradisional kian tersisihkan oleh perkembangan zaman. Tanpa adanya perhatian dan dukungan dari pemerintah maupun masyarakat, bukan tidak mungkin becak hanya akan menjadi bagian dari cerita masa lalu.
Becak tidak sekadar alat transportasi, melainkan warisan budaya yang layak dilestarikan. Upaya perlindungan dan pengembangan becak sebagai ikon lokal diharapkan bisa membantu para tukang becak bertahan di tengah gempuran transportasi modern. (Ramdhan Rio/ Nevenia)
Editor : M Fakhrurrozi